CERITA DAN KARYA CORAT CORET SI MEGOL

Sabtu, 19 Maret 2011

SUARA KERAS DARI KEGEMINGAN

Desa Geming. Sebuah desa yang dibingkai dengan alam yang tak pernah bersuara. Angin pun begitu senyap...menghasilkan rasa menggigil saat kau terkena tiupannya.
Gemercik suara air tak jua teresonansi. Mengalir begitu saja tak bergemercik, hanya mengalir apa adanya mengikuti alur sampai ke lautan yang nantinya akan bersuara dengan deburannya.

Bahkan penduduk yang tinggal di dalamnya berkata dengan bisikan yang lemah. Mereka lebih sering mengungkapkan sesuatu dengan tatapan matanya atau sunggingan senyum. Tak ada sapaan ataupun salam ketika bertemu dengan penduduk. Mereka dikenal sebagai manusia yang tak punya rasa marah.

Kesenyapan. Kesunyian. Kegemingan desa itu membingungkan para ahli gelombang suara dari seluruh dunia. Puluhan tahun penelitian dilakukan di desa itu namun tak ada yang tahu apa penyebab engganya suara memantul di desa itu. Hanya di desa itu. Seakan akan ada selubung metafisis yang menyerap semua suara dari desa itu.

Bila kalian masuk ke dalam desa itu kalian akan menyerah dengan kesunyian dalam waktu tiga hari saja. Kalian akan merasa kesepian. Merasa terabaikan dengan kegemingan. Saat kalian berharap ada satu suara saja yang menyapa kalian, harapan itu musnah. Daun yang kalian harap berbunyi saat jatuh dari pepohonan randu yang tumbuh lebat di sekitar desa, tak mau membantu menjawab harapan kalian.

Tuli. Itulah perasaan yang menjadi kesan pertama saat kalian menginjakan kaki di Desa Geming. Kamu bisa berbicara tapi kamu tak bisa mendengar suaramu. Kamu bisa melihat kuda-kuda besar melenggang di dekatmu tapi kamu tak bisa dengar ringkikan atau tepakan kaki-kaki mereka. Kamu yang terbiasa dengan ramai akan merasa frustasi dengan kesenyapan. Kamu, yang pada awalnya ingin mencari tenang dalam kesunyian desa yang sering dikomodifikasi perusahaan perjalanan akan menyerah dalam hari ketiga. Dan merindukan keramaian.

Pada tahun 2003. Tradisi sunyi alam pecah oleh sebuah suara. Suara paling keras yang pernah terdengar di desa ini. Kontan, penduduk kaget mendengar suara keras tersebut. Semua orang berhenti beraktivitas. Bayi-bayi menangis. Hewan-hewan yang tadinya diam ikut bersuara. Embikan kambing, ringkikan kuda, meong kucing, gonggongan anjing, desisan ular...makin membuat suasana mencekam.

Panik. Semua orang keluar. Kerongkongan 500 orang berteriak ketakutan. Teriakan pertama mereka. Segala macam doa dipanjatkan. Takut kiamat datang.Mereka tahu kiamat akan datang dengan suara bukan dengan keheningan. Semua orang menutup telinganya. Takut dengan kata-kata yang diperdengarkan oleh sumber teriakan. Degupan jantung mereka terdengar. Alam ikutan berbicara. Suara angin yang pelan seperti suara badai. Gemercik sungai yang sejatinya halus terdengar seperti bendungan jebol. Gesekan daun seperti bunyi sauara sepatu lars tentara. Begitu memekakan.

Wanita wanita menangis..pilu....sedih dengan pesan yang terdengar dari suara keras itu. Laki-laki makin menutup kuping mereka. Takut gendang telinganya pecah.

Sekonyong-konyong suara baling-baling menambah keriuhan siang itu. Pakar gelombang suara terkaget kaget dengan berita bahwa Desa Geming bersuara untuk pertama kalinya. Selubung kedap suara akhirnya terbuka. Selubung tak kasat mata dan tak kasat suara.
Segala teori dikemukakan di layar kaca. Para ahli gelombang suara urun pendapat tenatang muculnya suara keras di Desa Geming.

Suara itu berbunyi: Bebas...kami ingin bebas dari diam. Diam bukan emas. Kami tertekan


Setelah dilacak suara itu berasal dari perut seorang wanita yang sedang mengandung. Usia kandungannya sudah menginjak usia melahirkan. sembilan bulan sepuluh hari. Kata Dukun Bersalin setempat wanita itu adalah wanita bisu. Seorang wanita pendatang dari tempat yang penuh dengan pabrik. Saat wanita itu datang ia masih menggunakan seragam pabrik.

Tanpa ada yang mengetahui. Wanita itu bisu setelah mengalami trauma. Dia menjadi korban penculikan sehari setelah dia melakukan protes bersama buruh-buruh wanita yang tak dapat upah layak. Yang tenaganya dieksploitasi tanpa memperhatikan hak tubuhnya. Lelah. Mereka tak boleh lelah.

Pada hari malang itu, ia diculik dari mess kerjanya. Dia dibawa ke sebuah gudang kosong. disekap. Diperkosa bergantian.

Saking tegarnya ia tidak lantas hilang akal. Tidak menyerahkan kesadarannya pada penderitaan. Ia memilih menyepi ke tempat paling sunyi di dunia. Tempat yang bisa menerima dan menyerap tangisannya tanpa suara. Desa geming. Desa yang tak pernah bersuara, yang penduduknya hanya saling menatap atau senyum saat bertatap muka.

Suara itu semakin keras. Terdengar sampai ke ibukota. Ke Jakarta. Ke Parlemen. Ke Penjara-penjara. Ke mall mall dan plaza plaza. Ke Istana Negara.
Presiden yang sedang menikmati makan siang dengan jajaran kabinet bisa mendengar suara itu. Suara yang terasa dekat.

Meraka diam diam mendengarakn suara itu. Yang mereka pikir berasal dari demonstran. Demonstran yang selalu mereka remehkan.


Bebas...kami ingin bebas dari diam. Diam bukan emas. Kami tertekan
Bebas...kami bukan diam tapi hanya menunggu waktu untuk bicara pelan dengan kepalan tangan




Depok, Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar