“Nduk, kamu perhatikan ini...” bapak mengeluarkan satu persatu isi kantong kain yang terdiri dari tiga sachet kopi, dua sachet susu kental manis rasa cokelat, tiga bungkus mie instant, satu kilo beras, satu bungkus minyak goreng ukuran 100 mili liter, dan satu bungkus kecap ukuran 100 mili.
Bapak meneruskan kalimatnya, “ kamu lihat isinya dan kelak kamu akan mengisi kantong ini dengan benda-benda yang sama nduk, ini adalah bagian dari tradisi pergaulan di sini, keluarga yang ditinggalkan membagi rejeki pada masyarakat”
“ saru Pak...ndak boleh dahului Tuhan?” terus terang hatiku sakit membayangkan diriku mengisi kantung kain dengan sembako untuk selamatan kematian Bapak kelak
“lhoh, benar tho...kematian merupakan berkah bagi yang hidup, tetangga dapat besek setiap selamatan, tukang gali kubur dapat upah dari keluarga si jenasah, produsen kain kafan dan peti jenasah dalam doanya mengharapkan banyak kematian nduk...tak dapat kita pungkiri itu” bapak tertawa, menganggap analisanya itu komedi hidup padahal di telingaku itu satir. Bapaku itu memang terlalu ceria menghadapi hidup.
Seminggu setelah perbincangan itu Bapak wafat dalam tidurnya pada usia 67 tahun. Ibu yang tidur disamping Bapak, mendapati Bapak tak bergerak lagi saat Ibu membangunkan Bapak untuk sholat subuh berjamaah sekeluarga.
“nduk, Bapak dingin ndak gerak nduk....ya Allah tolong Bapak” kata kata itu yang keluar dari bibir Ibu yang pendiam.
Seketika aku, suamiku, dan adik perempuanku mendatangi kamar Bapak dan Ibu. Lalu suamiku membacakan syahadat di telinga Bapak dengan lirih. Ibu menangis di bahuku, aku memeluk Ibu. Meskipun kakiku tak kuat menahan berat badanku dan ibuku namun aku mengusahakan agar badan ini kuat menahan kesedihan yang sangat mendalam.
Selama Bapak hidup, sedari kecil, dalam setiap doa yang aku panjatkan, saat bagian mendoakan orangtua aku selalu berdoa pada Tuhan agar diberikan ketabahan dan tidak menangis dalam menghadapi segala kesedihan. Air mata ini hanya untuk Tuhan tidak boleh diperlihatkan kepada siapapun juga. Meski kepada Ibu atau keluarga kecilku.
Doaku dikabulkan Tuhan ketika jenasah Bapak menjalani rangkaian prosesi. Ketegaranku membuat suasana tidak menjadi terlalu sedu sedan. Aku mampu menjadi tonggak Ibu yang kehilangan separuh hidupnya. Hidupnya selama empat puluh lima tahun bersama Bapak. Apalagi, ketika jenasah Bapak dimasukan ke dalam liang lahat. Ibu menangis sambil berteriak memanggil nama Bapak. Aku yang ada di sampingnya seperti diberi kekuatan oleh Tuhan untuk tidak menangis sama sama sekali. Hatiku sangat kuat seperti ada fondasi kokoh di dalamnya. Aku menguatkan Ibu dengan berkata, “Ibu, air mata Ibu akan menghambat langkah Bapak pulang ke Rahmat Allah Bu, sabar ya Bu. Istigfar Bu”
Ibu mengikuti tuntunan pembacaan istigfar dari ku dengan terbata-bata. Hasilnya Ibu menjadi lebih kuat. Saat prosesi tabur bunga Ibu berkata pada Bapak, “Selamat jalan Mas, aku sudah ikhlas”. Aku memeluk punggung Ibu dengan erat.
Pada peringatan empat puluh harian wafatnya Bapak, aku membuat puisi yang aku bacakan pada upacara selamatan Bapak, begini puisinya:
Bapak, sahabat laki-laki ku yang paling baik hati
Sahabat yang mengajarkanku melangkah dengan tuntunan tangan sabar
Sahabat yang mengenalkan aku pada huruf alphabet dan huruf hijaiyah yang menjadi awal perkenalanku pada dunia dan nirwana
Sahabat yang selalu membacakan cerita seblum tidur bersama kekasihnya, Ibuku, hingga aku terlelap masuk ke dalam mimpi yang suasananya sama seperti cerita
Sahabat yang mengantarkan aku masuk taman kanak-kanak dengan motor harley davidsonnya
Sahabat yang mengajarkan berani melawan rasa takut
Sahabat yang menangis saat menikahiku dengan suamiku yang dipanggilnya Bung
Sahabat yang selalu memanggilku nduk meskipun aku sudah memiliki puteri, cucu Bapak.
Sahabat yang selalu tertawa dan menganggap dunia ini indah, meskipun pernah dipenjara karena melawan rezim penguasa dengan puisi-puisi mbelingnya
Sahabat yang menjadi guru hidupku.
Bapak, aku tak akan pernah melupakan amanat Bapak untuk selalu hidup waras dan positif
Terimakasih Pak, berkatmu aku menjadi manusia berguna.
Ketika membacakan puisi itu untuk pertama kalinya aku mengeluarkan air mata, air mata perpisahan pada sahabat. Hadirin yang menghadiri peringatan empat puluh hari wafatnya Bapak, sang maestro sastra berdiri dan bertepuk tangan memuji puisi jelek yang aku ciptakan malam kemarin.
Kini, pada seribu hari peringatan wafat bapak, aku memasukan tiga sachet kopi, dua sachet susu kental manis rasa cokelat, tiga bungkus mie instant, satu kilo beras, satu bungkus minyak goreng ukuran 100 mili liter, dan satu bungkus kecap ukuran 100 mili ke dalam kantung bercorak bunga daisy . Dibantu Pandora, puteriku yang sudah berusia sepuluh tahun.
“Bunda, kog orang-orang yang mengaji dikasih bungkusan ini...kayak ulangtahun temen-temen kakak. Kan temen-temen kakak kalo ulangtahun ngasih bungkusan isi makanan, persis kayak gini. Memang eyang di surga lagi ulangtahun ya Bunda?” tanya Pandora sambil menikat kantung dengan pita berwarna hijau.
Pertanyaan yang bernada satir. Aku jadi tertawa sendiri.
“nduk... eyang mau bagi bagi kebahagiaan pada teman teman eyang yang masih hidup. Bungkusan ini kado buat yang masih hidup” jawab ku meniru perkataan Almarhum Bapak.
“oh, berarti kalo eyang puteri, Bunda sama Ayah lagi ulangtahun di surga aku harus bagi-bagi kado ke orangg-orang. Isinya gak mau kayak gini ah. Aku mau masukin wafer, cokelat silver kuin, keripik kentang, sama susu rasa stroberi ke kantong yang gambar depanya ada Princess Barbienya”
Aku tertawa dan mencubit pipi puteriku yang mengingatkanku pada Bapak. Anak yang belum tahu kematian dan manusia yang sudah siap mengahadapi kematian sama tabahnya.
16 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar