CERITA DAN KARYA CORAT CORET SI MEGOL

Minggu, 04 April 2010

Lukisan Tanpa Bibir

Dia adalah laki–laki yang belum berbibir. Dia yang aku tidak ketahui namanya siapa, masih berbentuk lukisan. Aku lupa bibirnya seperti apa karena aku melukis tanpa sketsa. Aku melukis hanya lewat ingatanku saja, aku hanya bertemu dengannya sekali. Seingatku, aku berjumpa dengan objek yang kulukis kini ketika aku sedang makan siang dikantin fakultasku, Fakultas Seni Rupa, Universitas Hayam Wuruk, Jakarta. Saat itu dia yang belum mempunyai bibir dalam lukisanku sedang bercengkrama dengan temannya yang berbadan tambun. Aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, aku menganggap senyum yang ia perlihatkan adalah senyuman paling indah yang pernah aku lihat dari semua lelaki, bahkan lebih indah dari senyuman Brad Pitt di poster Film Mr and Mrs. Smith.
Matanya juga indah, tatapannya seperti tatapan kelinci yang membuat semua rubah sepertiku jatuh cinta. Lalu rambutnya, rambutnya yang ikal dan dibiarkan panjang sampai leher bewarna sangat hitam. Kulitnya cokelat dan bila tersorot sinar matahari, warnanya akan membuat pelukis seperti aku langsung mengambil kanvas dan mencampur warna. Tapi sayang aku lupa kepada bentuk bibir sang objek lukisanku, padahal yang membuat aku jatuh cinta kepadanya adalah senyumannya. Bukankah senyuman memerlukan bibir?
Semenjak aku bertemu dengan lelaki tak berbibir dalam lukisanku yang ternyata adalah mahasisiwa fakultas teknik, aku semakin menjadi bersemangat mengerjakan tugas untuk pameran yang akan diselenggarakan tiga hari lagi. Sebenarnya aku sudah berencana untuk melukis buah–buahan saja, tapi semenjak aku bertemu dengan anak fakultas teknik yang aku tak ketahui namanya dan lupa akan bentuk bibirnya, aku membatalkan niatku untuk melukis buah-buahan karena mereka tak punya senyuman yang membuatku tak tidur nyenyak sebulan ini.
Bakatku dalam melukis, secara genetis kudapat dari ayahku yang juga seorang pelukis, malahan Ayah sudah sering tidur di Barcelona untuk memperlihatkan lukisan impresionis berobjek alam dan wanita telanjangnya pada khalayak Eropa dan dunia. Kata Ayah, wanita telanjang adalah representasi dari alam dan menurutnya lagi, melukis adalah menjadi Tuhan dengan T kecil. Dengan melukis kita bisa mencipta alam dengan kemauan kita sendiri. Awan bisa kita beri warna ungu ketika kita sedih atau matahari bisa kita beri warna merah ketika kita sedang marah. Memang ada–ada saja jalan pikiran pelukis, apalagi yang sudah berkelas kaliber seperti Ayah. Ayahku yang keturunan Surabaya asli memberikan kata wapik tenan ke lukisan yang dianggapnya benar–benar bagus. Lukisanku baru satu kali mendapatkan predikat prestisius itu. Lukisan berobjek lelaki fakultas teknik tanpa bibir itulah yang baru mendapat gelar kehormatan wapik tenan dari ayahku. Menurut Ayah, sebelas lukisanku sebelumnya terlalu nyata dan tidak melibatkan unsur Tuhan dengan T kecil (tuhan), lalu menurut ayahku yang bernama Dewa Kriya itu, dalam melukis kita harus melupakan peran kita sebagai manusia biasa. Dia sering berkata dengan logat surabayanya kepadaku seperti ini .
“Kirana, kamu ini pelukis bukannya peniru Tuhan, jadi jangan berusaha melukis alam dan jeroannya senyata mungkin. Ayah tahu kamu sudah berhasil menjual lukisan– lukisanmu itu dan mampu membeli mobil VW Battlemu sendiri, tapi Ayah belum mau mati sebelum memberi kata wapik tenan pada lukisanmu“.
Biasanya Ayah berkata seperti ini ketika kita berdua sedang makan malam di rumah dan Ayah sedang mengunyah pete bakar kesukaanya.
Ketiadaan Bunda semenjak aku berumur lima tahun, membuat Ayah bertindak juga sebagai Bunda yang aku masih ingat wajahnya, bahkan bibirnya. Ayahlah yang mengajarkan aku masak, mendengarkan masalah–masalah ketika aku menjadi gadis puber, dan Ayah juga yang pertama kali tahu kalau aku ini punya bakat melukis. Ayah adalah inspirasiku dalam melukis, tetapi aku melukis dengan aliran yang berbeda dengan Ayah, aku melukis dengan aliran yang disebut oleh para ahli seni sebagai aliran realisme. Aku bisa membuat lukisan pohon cemara persis seperti aslinya dan aku bisa melukis Rano Karno lengkap dengan tahi lalatnya, malah Rano Karno rela membeli hasil lukisanku dengan harga yang bisa dibilang lumayan untuk ukuran pelukis wanita seperti aku. Pelukis idolaku adalah Leonardo Da Vinci sang pencipta Monalisa dan Michelangelo sang pelukis langit Basilika di Vatican. Mereka memang seniman realis paling jenius dan belum ada tandingannya.

****
Lukisan tanpa bibir itu masih berada di dalam studioku, lelaki fakultas teknik yang tak aku ketahui namanya itu kulukis dengan tatapan mata jatuh cinta dan agak sedikit sendu. Alisnya aku buat persis seperti yang dia punya, tebal dan hitam. Rambutnya kulukis dengan warna hitam paling pekat, malah cat minyak hitam yang aku punya aku campur dengan jelaga. Badannya aku buat setengah badan saja, posisinya agak miring sedikit, tangannya aku lukis sedang mengenggam bunga mawar dengan harapan suatu saat nanti dia memberikan aku bunga mawar merah dan tentu saja bibirnya secara harafiah.
Aku benar–benar gandrung dengan sang empunya bibir, aku rela menggadaikan jiwaku kepada setan untuk mendapatkan memoriku tentang bibirnya. Tapi setan mana yang mau mempertukarkan ilmu jahatnya dengan memoriku yang menyimpan visualisasi bibir milik mahasiswa fakultas teknik itu ?
Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengannya di lorong rektorat tapi betapa bodohnya aku, karena aku terlalu terpana dengan tatapan matanya, aku sampai lupa perhatikan dengan seksama bibirnya. Malah aku menangis di mobil saat ingin pulang ke rumah. Aku rasa aku tidak hanya menyesal tidak mendapatkan imaji tentang bibirnya, tetapi aku benar – benar jatuh cinta pada sang empunya bibir.
Waktuku tinggal tiga hari lagi untuk mengikuti pameran yang menjadi ujian akhirku pada mata kuliah Praktek Pameran Seni Rupa. Aku bisa saja melukis objek lukisanku dengan bibir rekaanku, tapi itu sama saja pengkhianatan pada prinsip melukisku. Memang di luar sana banyak orang yang mengkhianati prinsipnya sendiri, tapi aku tak mau seperti itu karena itu sama saja makan muntah sendiri.
Rasanya ingin sekali menghampiri si empunya bibir ke fakultas teknik dan memoteret bibirnya dengan kamera digital. Michelangelo saja berani mendatangi kamar mayat dan melihat bagian anatomi tubuh manusia dengan tujuan dapat melukis manusia sesuai dengan kodratnya. Bila sudah melibatkan perasaan cinta seperti ini, hal yang biasanya bisa dihantam dengan keberanian bisa menjadi hal tersulit. Pernah pada suatu ketika, aku ingin melukis edelwis persis seperti aslinya. Demi edelwis itu aku rela mendaki Gunung Gede sendirian dengan membawa kanvas ukuran satu meter kali satu meter ke puncak Gunung Gede.
Bila aku tak jatuh cinta dengan mahasisiwa fakulktas teknik itu mungkin aku berani menghampirinya dan meminta dirinya untuk duduk di hadapanku sekarang dan kulukis dia dengan sempurna, lengkap dengan bibirnya.
Satu hari berlalu tanpa ada kemajuan pada lukisanku, lukisanku masih tetap telanjang tanpa bibir. Kata Ayah biarkan saja lukisan itu tanpa bibir, jadi orang yang melihatnya bisa berimajinasi dengan bebas seperti apa bibirnya. Mungkin bila dilihat dari sudut pandang Ayah, lukisanku bercita rasa seni tinggi. Tapi hal itu bertentangan dengan prinsipku, aku bertekad hari ini aku harus menghampiri si empunya bibir dan menyanderanya sebentar di studioku untuk melengkapi ketelanjangan lukisanku. Aku tahu bibir bukanlah panca indera yang penting, tetapi mau dikemanakan ekspresi manusia tanpa bibir ?
Kubawa VW Battle kuningku dengan kecepatan maksimal ke kampus, aku tak peduli dengan makian supir metromini yang badan mobilnya hampir aku tabrak ketika aku menyalip dari sebelah kiri. Tuhan masih mau aku hidup, untuk melengkapi lukisan tanpa bibirku, buktinya aku bisa sampai di kampus dengan selamat dan mobilku juga tidak mengalami lecet di badannya. Setelah kuucapkan puji dan syukur pada Tuhan karena diberi keselamatan, kuparkir mobilku tepat didepan Fakultas Teknik, Universitas Hayam Wuruk , Jakarta.
Lalu aku berjalan menuju ke dalam gedung fakultas, di dekat tangga menuju lantai dua ada sekerumunan mahasisiwa sedang bersenda gurau lalu aku hampiri mereka. Kutanyakan pada mereka apakah mereka kenal dengan orang yang menjadi objek lukisanku, aku beri pada mereka ciri–ciri yang aku ingat, mulai dari bentuk rambut, bentuk wajahnya yang berahang tegas, sampai ke warna kulitnya yang cokelat. Menurut mereka ada sekitar sepuluh orang di fakultas teknik yang memiliki ciri seperti itu.
Mereka meminta nama untuk memudahkan pencarian, tetapi sayangnya aku tak tahu. Lalu aku memberi pelengkap pada identifikasinya, yaitu temannya yang tambun. Mereka serempak mengucap barisan huruf O yang panjang. Menurut mereka orang yang aku cari itu bernama Semesta dan temannya yang berbadan tambun itu bernama Rakai. Aku sangat senang dengan informasi tersebut, malah aku mendapatkan informasi lagi dari kerumunan itu, kata mereka Semesta sekarang sedang kuliah di Ruangan 308, itu ada di lantai tiga gedung ini. Menurut mereka, aku bisa menghampirinya dan memanggilnya sebentar karena dosennya sedang tidak ada di kelas. Mereka juga ternyata teman sekelasnya Semesta. Sepertinya mereka itu mahluk yang malas ikut diskusi.
Setelah mendapatkan informasi, aku tak mau berlama–lama bergeming karena terlalu senang. Aku segera menaiki tangga dan menuju ke lantai tiga. Kelas yang di maksud juga tidak jauh dari anak tangga. Ruangan 308 seperti peti harta karun dimataku. Aku segera mengetuk pintu yang berkaca, lalu ada seorang gadis dengan kerudung hijau membukakan pintu dan menanyakan aku ingin bertemu siapa. Aku langsung menyebut nama Semesta. Lalu gadis berkerudung hijau itu celingak – celinguk mengamati barisan di belakang untuk mencari Semesta. Setelah selesai dia menghampiri aku yang berdiri di belakang pintu, menurutnya Semesta tidak hadir hari ini.
Kekecewaan meliputi hatiku, aku berjalan lunglai menuju lantai bawah. Musnah sudah harapanku untuk melengkapi bibir pada lukisanku. Tapi tekadku tidak berhenti sampai disitu, aku baru teringat masih ada satu nama yang bisa memberi tahu tentang dimana keberadaan Semesta. Dia adalah Rakai. Lalu aku kembali ke Ruangan 308 dan bertanya pada gadis berkerudung hijau, apakah Rakai hari ini hadir. Menurut gadis berkerudung hijau, Rakai sudah seminggu ini tidak hadir karena sakit demam berdarah. Dua kali sudah aku kecewa, lalu aku meminta nomor telepon selularnya Semesta. Sedikit keberuntungan menghampiriku, gadis berkerudung hijau bernama Rara itu punya nomor telepon selularnya Semesta. Setelah mengucapkan terimakasih aku segera pergi menemui dosen pembimbingku yang tadi pagi menagih hasil karyaku via telepon. Menurutnya aku harus memberikan hasil karyaku pada kurator sore ini, jika tidak aku harus mengulang mata kuliah ini tahun depan. Otomatis aku tidak bisa lulus tahun ini dan beasiswaku untuk mengambil S2 di Perancis terancam gagal.
Rencananya, setelah menghadapi dosen aku akan menelepon Semesta siang ini dan membuat janji bertemu lalu memotret bibirnya di suatu tempat. Manusia hanya bisa berencana, dosenku marah – marah selama satu jam di ruangan kerjanya. Dia kecewa kepadaku karena dia menganggap aku main – main dengan mata kuliahnya. Hanya aku saja yang belum mengumpulkan karya kepada kurator di galeri kepunyaan kampus. Aku sudah jelaskan sebabnya tetapi dia masih saja tidak mengerti.
Setelah dimarahi habis – habisan di ruang dosen dan disaksikan oleh beberapa mahasiswa dan dosen, aku keluar dengan muka dan kuping merah. Ingin rasanya menangis. Tapi aku tak mau menyalahkan Semesta, hal buruk ini terjadi karena ketidakberanianku meminta kepada Semesta secara langsung untuk melukis wajahnya. Sesal memang datang belakangan. Aku teringat akan kata – kata Ayah. Menurutnya untuk mencapai kesuksesan kita harus terlebih dahulu menginjak kerikil tajam tetapi kita jangan terpuruk oleh rasa sakit akibat luka yang ditimbulkan, kita harus mengobatinya segera agar tidak terjadi infeksi. Aku tidak boleh sakit hati pada dosen pembimbingku tetapi aku harus segera menelepon Semesta dan melukis bibirnya.
Aku duduk di taman sastra untuk mencari ketenangan sejenak. Lalu aku segera menghubungi Semesta. Beberapa detik kemudian ada nada penanda telepon diangkat, hatiku riang sejenak tetapi aku kembali kecewa karena yang menjawab mesin operator. Semesta sedang berada diluar jangkauan sinyal. Berarti Semesta sedang tidak ada di Jakarta saat ini. Tubuhku kembali lunglai, aku tak sanggup berdiri, tak terasa air mata mengalir dari sudut mataku. Baru kali ini aku gagal dan menangis karena kegagalanku. Aku tak sanggup menyetir mobil jadi kutelepon Ayah untuk menjemputku di kampus. Musnah sudah impianku mencapai kesempurnan dalam karyaku kali ini. Tetes demi tetes air mataku jatuh kebawah tanah. Dunia di sekelilingku menjadi sentimentil. Sambil menunggu Ayah menjemput, aku membuat sketsa yang menggambarkan suasana hatiku diatas kertas A4. Aku menggambar pemandangan di selilingku menjadi tampak menyedihkan. Aku menjadi impresionis seperti Ayah, langit yang seharusnya bewarna biru aku buat menjadi abu – abu, bunga mawar yang ada di depanku kulukis menjadi bewarna lembayung, dan aku lukis kebeberadaanku ditengah pemandangan itu dengan muka rata tanpa bibir, mata, dan hidung.
Satu setengah jam kemudian Ayah datang dengan celana tukang sate selututnya dan kaus putih lengan pendeknya. Ia memakai topi pet kesayangannya yang bewarna cokelat muda. Segera kupeluk Ayah dan kutumpahkan air mataku dipundaknya. Kuceritakan kegagalanku pada Ayah. Ayah mendekapku begitu erat dan membelai rambut panjangku. Kata Ayah lukisan tanpa bibirku adalah lukisan terindah yang pernah Ia lihat. Malah Ayah membawakan lukisanku untuk dikumpulkan pada kurator sekarang. Firasat Ayah memang tepat. Lukisan dengan ukuran kanvas 60 cm x 40 cm itu sudah berada di bangku belakang mobil kijang Ayah. Ayah menghapus airmataku, Ia kemudian mengambilkan lukisanku dan mengantarkan aku ke ruang pameran.

****
Keesokan harinya lukisan yang kudaftarkan dengan judul LUKISAN TANPA BIBIR dipajang di tengah ruangan. Lukisanku mendapat apresiasi yang bagus dari pengunjung pameran, malah dosenku memujiku habis – habisan dan meminta maaf dengan traktiran makan siang. Beberapa pengunjung menawarkan lukisanku dengan harga tinggi, tetapi aku menolaknya dengan halus karena ini adalah karya dengan latar belakang yang unik. Lukisanku juga mendapatkan publikasi dari beberapa majalah seni terkemuka dan stasiun tivi. Ayah hari ini tidak dapat hadir karena tadi pagi Ia harus berangkat ke Hanoi, Vietnam, untuk menghadiri Konferensi Perupa se-Asia Tenggara. Sebenarnya aku tak sanggup menghadapi kesuksesanku tanpa Ayah, tetapi Ayah sudah memberikan kecupan dikeningku tadi pagi sebelum berangkat ke bandara. Jadi aku bisa tegar denga kegemilanganku hari ini.
Setelah pameran usai aku pergi ke taman sastra dengan perasaan bercampur aduk. Aku sangat senang karena karyaku mendapatkan apresiasi positif dari pengunjung dan Ayah mengeluarkan kata wapik tenan perdananya untukku. Rasa penasaran pada Semesta masih mendera batinku kemudian sesuatu dari otakku memintaku untuk menghubungi nomornya. Semesta mengangkat telepon selularnya, suaranya sangat lelaki sekali, ternyata dia ada di kampus dan ada di kantin fakultas teknik, aku segera berlari ke sana bersama seribu angan di kepalaku, aku berniat memeluknya dan mencium bibirnya meski hanya sekali.


Depok, 19 Agustus 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar