CERITA DAN KARYA CORAT CORET SI MEGOL

Kamis, 22 April 2010

Aku sudah mengamatinya satu minggu

Aku sudah mengamati lelaki itu selama seminggu. Bukan dengan mata yang menjadi jendela hatiku, namun dengan mata tambahan berupa teropong. Ia lelaki yang menarik. Setiap sore jam empat lebih tiga puluh menit ia duduk di kursi-- depan air mancur, Taman Srivedari. Taman itu, kebetulan, menghadap langsung ke kamarku. Taman ini adalah fasilitas hiburan yang disediakan oleh komplek peumahan dimana aku tinggal.
Taman yang sudah berumur puluhan tahun itu, ditumbuhi oleh rumput karpet (istilahku sendiri), bunga sepatu, bunga mawar, anggrek, tanaman rambat yang aku tidak ketahui namanya dan sebuah pohon kenari yang cukup besar. Di taman itu juga ada delapan buah bangku panjang yang bisa diduduki oleh tiga orang. Bangku-bangku itu berwarna cokelat dan memiliki sandaran berukuran panjang setengah punggung. Bangku itu juga memiliki fungsi sebagai tempar tidur. Orang-orang gemar tidur di situ dengan koran yang menutupi wajah mereka. Namun lelaki yang sudah aku amati seminggu itu tidak pernah tidur disitu, dia selalu duduk di bangku yang sama selama seminggu ini. Dan dia selalu duduk bersandar dengan kaki berselonjor dan tangan kirinya selalu bersandar pada penampang tangan bangku taman.
Dengan teropong yang aku punya, aku bisa mengamati dengan detail segala sesuatu di taman itu, termasuk lelaki itu. Ia memiliki wajah dengan rahang tegas, tinggi kira-kira 170 cm dan berat 65 kg. Rambutnya yang ikal seleher terkadang ia biarkan tergerai dan kadang-kadang ia kuncir. Ia selalu menggunakan kaus bergambar bendera Inggris dengan warna yang berbeda-beda, jaket berkapucon berbahan kaus, celana bermuda dan sepatu lari warna abu-abu. Ia juga selalu ditemani oleh seekor anjing jantan jenis golden retriever. Anjing itu berwarna cokelat muda keemasan dan memakai kalung choker berwarna hitam. Seeokor anjing yang selalu aku inginkan. Golden Retriever itu selalu duduk bersimpuh di bawah kaki tuannya. Sehingga terkesan, anjing jantan itu sudah mengabdi dan menandatangani dokumen tanda kesetiaan pada tuannya. Lelaki itu selalu membawa buku catatan dan mendengarkan i-pod. Entah apa yang didengarkannya. Aku membayangkan ia mendengarkan lagu berirama soul, karena setiap kali mendengarkan lagu dari i-podnya, kepalanya selalu mengangguk-ngangguk, kakinya menghentak-hentak halus di tanah dan bibirnya ikut bernyanyi. Ketika matanya terpejam dan angin menghempas dengan lembut rambut ikal gondrongnya, hatiku ikut merasakan damai. Seperti ada yang terbang di dalam perutku. Rasanya begitu memabukan dan aku sepertinya ketagihan. Entahlah, mungkin ini efek dari obat yang aku minum.
Lelaki itu tak pernah ketinggalan membawa dua tangkap sandwich dan satu botol minuman berwarna oranye, sepertinya jus jeruk. Dia menyantap sandwich dan minuman itu secara bergantian. Terkadang ia menggigit sandwich dua kali lalu meminum minuman itu atau dia meminum jus itu tiga tegukan lalu menyantap sandwich. Lelaki itu selalu menyantap ransumnya tepat pada jam lima. Ketika ia menyantap makanannya, ia selalu menatap ke arah air mancur. Sepertinya patung Dewi Saraswati yang ada di tengan air mancur begitu mempesonanya. Mungkin wanita idamannya seperti Dewi Saraswati
Selama seminggu ini, aku semakin yakin mungkin Tuhan mengirimnya untuk menjadi obat penenang alamiku. Penyakit yang aku derita hanya memiliki satu obat yaitu obat penenang. Aku menderita phobia pada keramaian. Agora Phobia. Penyakitku ini tergolong akut. Psikiater dalam dan luar negeri tidak bisa mengobati penyakitku ini. Dukun, tabib, shaman, kiayi, dan pendeta pun tak mampu berbuat apa-apa. Entah roh apa yang ada di dalam badanku ini. Setiap menghadapi keramaian, kepalaku seperti dihantam besi, dada ini rasanya sesak, dan orang-orang itu seperti ingin membunuhku dengan suara hiruk pikuk yang dihasilkan. Ketika serangan itu datang, aku selalu tak sadarkan diri. Dan pernah suatu ketika aku berharap ingin mati saja. Mungkin dalam kematian aku baru bisa mendapatkan ketenangan. Saat aku sadar dan sudah terbaring di atas tempat tidur pasti ibuku menangis karena iba padaku. Tapi dia selalu berhasil berpura-pura tersenyum. Padahal air matanya terus mengalir dan membuat wajahnya semakin sendu. Aku heran dengan ibu, bisa tersenyum dan menagis disaat yang bersamaan.
Akibat penyakit anehku ini, semenjak sepuluh tahun ini hampir seluruh hidupku aku habiskan di dalam kamar ini. Kamar yang cukup luas dan memiliki jendela besar yang menghadap ke Taman Srivedari.
Dari sini pula aku mengamati orang-orang selain lelaki itu. Pak kebun yang selalu setia membersihkan taman dengan baju overallnya, ibu penjual pecel yang selalu duduk dengan senyuman puas karena pecelnya ludes, penjual rujak yang selalu memotong nanasnya kecil-kecil, anak-anak kampung belakang komplek yang bermain bola plastik setiap jumat sampai minggu sore, dan seorang kakek tunawisma yang senang mengumpulkan botol minuman dari dalam tong sampah.
Aku dengan segenap hatiku hanya bisa pasrah pada nasibku ini, dan pastinya juga iri dengan mereka yang bisa damai ditengah keramaian. Padahal cita-citaku adalah menjadi seorang public relation, yang pastinya harus menghadapi orang banyak. Sungguh ironis. Entah apa yang ada didalam darahku ini, sepertinya aku telah berbuat dosa besar sehingga Tuhan mengutukku untuk hidup dalam sepi dan hanya bisa memandangi orang yang menikmati keramaian.
Aku pernah mencoba untuk berbuat nakal dengan nasibku sendiri. Kejadiannya setahun yang lalu. Aku pernah keluar ke taman pada suatu sore dan duduk di tempat lelaki itu biasa duduk. Aku nikmati udara taman dan bunyi gesekan daun kenari bersama orang-orang. Aku tak membawa apa-apa selain badanku sendiri. Aku coba menikmati angin, siapa tahu aku bisa berdamai dengan suara angin. Pertama-tama angin yang mengibas-ngibaskan rambut panjangku mulai bertiup dan masih berdamai dengan diriku.Gemercik suara air mancur setidaknya mulai memberikan efek imun dan membuatku tenang Namun lama kelamaan, suara anak-anak, orang-orang yang bercengkrama di taman, suara motor yang meraung-raung bekerja sama dengan angin menciptakan badai yang merubuhkan badanku. Aku hanya ingat aku ada di tengah pusaran warna ungu kebiru-biruan dan pusaran itu berputar sangat cepat dan membuat pikiran dan tubuhku limbung. Daya gravitasi menarik tubuh yang lemah ini dan membuat tubuh ringkih ini kembali menyentuh tanah. Satu jam kemudian, aku sudah ada di atas tempat tidur dan ibu menangis tanpa suara tangisan di atas dadaku. Air matanya membasahi dadaku. Dan seperti biasa, ia tersenyum saat aku siuman dengan airmata yang masih mengalir.
Akibat peristiwa itu, orangtuaku mengunci kamarku dari luar dan baru membukanya ketika kamarku akan dirapihkan. Dan simulai pada saat itu juga aku mengenal dunia hanya sebatas kamarku. Sebuah kamar berukuran 10 meter kali 15 meter. Dengan dinding bewarna pink dan wall paper bermotif bunga violet bewarna ungu. Kamar tudurku bagaikan rumah kedua bagiku. Sebuah perumpamaan yang konyol meurutku sebenarnya. Karena bagiku, perumpamaan yang tepat adalah. Kamarku istanaku dan juga penjaraku.
Sudah setahun ini juga aku mengamati dunia di luar kamarku dengan teropong, ayah memberikannya tepat pada hari ulangtahunku. Selain itu, kakak sulungku membelikan aku sebuah lap top dan memasangkannya modem internet. Aku tahu kejadian di luar lewat laptop, teropong dan televise ukuran 20 inci yang ada di kamarku. benda-benda itu adalah mata keduaku.
Kembali pada lelaki yang aku amati. Ia pernah memandangi kaca jendelaku. Dan melihatku mengarahkan teropong padanya. Matanya sipit namun tajam. Aku hampir terkena serangan jantung. Saat itu aku berdoa aku tidak dikutuk memiliki phobia pada pandangan soerang lelaki.
Aku jatuh cinta padanya. Meski aku belum pernah bicara. Meski aku melihatnya dengan teropong. Meski baru tujuh hari. Dan aku akan menghampirinya mengucapkan hi dan segera berlari ke dalam rumah sebelum penyakit yang aku idap. Aku bertekad akan kabur dari kamarku. Demi mengucapkan Hi pada orang asing
Karena kenekatan aku sudah diluar rumah, aku lari dari pintu samping. Kebetulan semua pintu tidak dikunci dan keluargaku sedang ada di taman belakang. Membakar sosis. Aku baru ingat ini hari kamis. Kamis adalah hari sosis panggang. Bau harum sausnya begitu menggoda hidung dan nafsu makanku. Rasanya hampir saja kedua kakiku yangg hanya ditutupi sandal boneka kucing warna biru ini terseret ke taman. Kalau saja terjadi. Keluargaku mungkin panik. Dan segera membawaku masuk kembali ke dalam kamar. Ke dalam penjara tercinta. Namun Tuhan mendukung perjalanan ku. Jihad ku. Keluar melawan penyakitku demi sebuah kata Hi!
Kakiku berhasil melangkah ke taman. Gaun selutut yang kupakai berkibar ditiup angina sore. Air kolam bewarna keemasan ketika ditimpa cahaya matahari . Si lelaki pemakan sncdwich sedang tidur namun kali ini dalam posisi duduk tegak. I pod masih terpasang di telinganya. Anjing golden retrievernya tidak dibawa. Mungki sedang belibur.

Dengan ketenangan aku duduk disampingnya. Selama beberapa detik ia tidak terganggu. Namun panas tubuhku terdeteksi. Ia bangun. Lalu aku berkata Hi. Dia menjawab Hi. Dia bertanya kamu Lila khan?. Aku menjawab, bagaimana kamu tahu?. Dia menjawab aku adalah dirimu yang dulu. Sebelum keramaian merampasmu. Aku adalah sisi tenang jiwamu Lila. Hanya kau yang dapat melihatku. Aku adalah keinginan terdalammu. Alam bawah sadarmu. Aku adalah kemauanmu. Lila kamu hanya perlu belajar bahwa keramaian adalah sepi yang bersuara keras.
Setalah mendengar ucapanya. Hatiku terasa damai dan suara suara tidak terdengar yang ada hanya putih dan cahaya terang. Aku tidak terkejut ketika si lelaki sandwich yang ternyata adalah diriku. Jelmaan keinginan terdalam diriku masuk perlahan ke dalam tubuhku. Tidak ada suara tangis mama. Kini aku sudah tenang pergi bersama dengan diriku. Bebas. Dan suara rami keheningan menyambutku.


Keramaian yang hening
Pada suatu hari di tahun 2009-2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar