Pre-adventure@Kampoeng Rambutan 8 Juli 2007
Suatu ketika di dunia tele babi ada lima petualang kelas amuba yang ingin merasakan sedapnya oncom Bandung dan segarnya bandrek mountain. Lima orang tersebut adalah: Doni sang pendekar mesum dari leuwih liang, Eka sang penakluk bantal dari Ciledug, Isnain sang autis kambuhan dari Condet, Majid sang biduan kamar mandi dari Karawang, dan Gue Mega sang saka merah putih ralat maksudnya sang peri cantik dari Depok.
Mereka berlima berangkat dari sebuah terminal di Jakarta Timur. Terminal tersebut konon memiliki rambut banyak di luar dan buah berwarna putih di dalam. Rasanya kadang pait, getir, sepa, manis, dan sedikit asem. Buah apakah itu? Yang bisa nebak dapet hadiah di cium calo terminal bertato. Ya benar, Rambutan! Para kontestan memulai langkah petualangannya di terminal Rambutan yang letaknya tidak jauh dari markas Mak Erot sang harapan para lelaki yang tak punya kepercayaan diri.
Lima kontestan Petualangan Ubek – Ubek Bandung menaiki sebuah kendaraan yang di dunia tele babi adalah bis dengan tarif paling mahal, Sinar Pasundan dengan tarif 16 Ribu. Sebelum kita bisa dapet bis, kita harus melewati tantangan berupa angin malam yang menyengat dan bujuk rayu para calo yang menawari lima kontestan untuk menaiki bis Ac murahan bertarif 25 rebu, Bis Sinar Pasundan yang ditumpangi lima konrestan dan penumpang lainnya berangkat pada pukul sebelas malam.
Bis yang sudah dipenuhi penumpang sekitar 80 persen, jalan menuju Bandung melewati puncak. Baru jalan beberapa langkah, bis yang dipenuhi aroma ketek dan asep rokok itu ngetem sejenak di pintu tol Rambutan. Peluh membasahi jidat gue. Mungkin bisa dijadiin ladang garem. Setelah sepuluh menitan, si bis jalan juga meninggalkan Jakarta. Gue duduk sama Dony dan Isnain. Majid dan Eka duduk di bangku depannya. Tak lupa cemilan juga menjadi korban kanibalisme para kontestan.
Tabrakan kepala di dalam bis
Di perjalanan, gue, Doni, dan Isnain ngobrol sambil nyemil beng–beng dan kampret eh wafret. Eka udah gak sanggup untuk molor, emang dasar siluman kebo, ngeliat kubangan maonya molor dan si Majid dengerin disc man yang berisikan lagu-lagu sunda. Sesekali pala Majid goyang-goyang kayak Steave Wonder. Memasuki kawasan Bogor si Nain juga akhirnya molor.
Memasuki Ciawi, bis tercinta ngetem lagi untuk menjaring penumpang-- tapi gak gitu lama. Gue jadi inget waktu survey nyari tempat perkemahan sama bocah–bocah gila di Suka Bumi, waktu sekitar semester lima. Kenangan buruk tapi manis itu tak akan gue lupakan dan tak patut di ceritakan disini.
Setelah bis jalan lagi dan mulai memasuki kawasan puncak, gue udah mulai ngantuk dan rada tidur–tidur ayam. Tapi lama-lama gak bisa tidur juga, soale Doni bangunin gue dan bilang pemandangan disekitar sangat indah karena kita bisa liat lampu– lampu dimalam hari. Ya dah akhirnya gue bangunin Nain untuk ikutan ngeliat pemandangan di sekitar puncak. Lampu–lampu itu terlihat seperti kuku setan yang berkilauan. Serasa di atas bukit Hongkong. Tapi gue mikir juga, gimana Jakarta gak kena banjir karena puncak udah penuh dengan bangunan meski terlihat indah bila malam tiba. Pas sampe Ciloto, gue rada deg-degan juga soalnya beberapa hari sebelumnya ada kecelakaan yang merenggut nyawa siswa dan guru dari Depok. Ya Allah semoga mereka diterima di sisi Mu.
Lama kelamaan bis jalan dengan kecepatan yang bikin gue dan Doni deg-degan juga karena bis ngebut dan disebelah kanan jalan terdapat jurang yang selalu siap sedia menerima kedatangan setiap nyawa. Dalam hati gue berdoa gini: Ya Allah lindungilah kami sampai kami bisa sampai rumah nanti. Di daerah Cianjur, bis berhenti sebentar untuk istirahat. Beberapa penumpang juga ada yang baru naik. Lalu si Doni keluar sebentar untuk ngerokok. Selama bis ngetem gue ngobrol ma Nain. Dari ngomongin masalah skripsi sampai ngomongin masalah inflasi.
Akhirnya bis jalan juga. Doni pindah duduk ke bangku dua di sebelah kiri gue dan gak lama kemudian di sebelah gue mendaratlah seekor lelaki tak dikenal. Dia memiliki aroma parfum solat jumat. Wanginya begitu menyengat dan memiliki efek bius yang ngebuat gue tidur nyenyak. Gue mimpi dicium Colin Farel, ternyata dalam dunia nyata gue jedotan kepala sama Nain. Betapa nistanya dunia nyata....
Day One
Being Homeless
Ketika gue terbangun dan disusul oleh yang lainnya. Bis yang kita tumpangi udah nyampe Cimahi. Bis pun sudah dipenuhi oleh penumpang–penumpang yang berdiri. Beberapa penumpang juga ada yang turun di Padalarang, Karena mata gue masih gremetan dan hati memanggil untuk tidur lagi, ya sutralah gue ma anak- anak yang lainnya juga pade bobo. Dan tanpa kita sadari bis dah nyampe ke Leuwih panjang. Kernet yang ada di bis mengingatkan kepada seluruh penumpang untuk segera turun. Kita semua masih terbengong – bengong dengan ekspresi takjub karena Leuwih Panjang sudah ada dihadapan idung kita. Kita pikir Leuwih Panjang itu ada di balik puncak Everest.....
Setelah selesai dengan ritual bengong, kita semua turun dari bis dengan pose artis turun dari limosin. Dan Alamak!!!!!! dingin pun menusuk kulit kita yang kayaknya udah mengkerut. Beberapa jurus senam gue keluarkan untuk menghilangkan rasa dingin. Diantaranya poco- poco, SKJ 2000, dan senam hamil. Jurus gue ampuh juga. Rasa dingin itu hilang. Temen–temen yang lain juga melakukan beberapa aktivitas untuk menghilangkan dingin. Doni dan Nain ngerokok kayak kakek-kakek, Majid tereak– tereak: “Ihhh dingin deh Bo, jauh banget ya sama Karawang”, si Eca menggelinjang dan mengeluarkan gaya tari kejang sambil sedakep kayak dukun beranak.
Sambil senam ada beberapa supir taksi yang nawarin kita keliling Bandung. Padahal saat itu masih jam setengah empat pagi sodara-sodara!!!!!. Karena Doni ngasih tau kita mau ke UPI si oknum supir taksi yang meminta namanya dirahasiakan menawarkan untuk mengantar kita ke penginapan yang dekat dengan UPI. Dengan sigap kita menolak uluran tangan si supir angkot yang berinisial Akang X. Karena berdasarkan inpormasi dari temen kita yang bernama Seto Nirodjim, gak jauh dari situ ada banyak penginapan. Lalu setelah si Akang X bosan dan menemukan mangsa baru yang kayaknya calon mahasisiwa yang ingin daftar ke UPI, kita memutuskan untuk menyantap sarapan yang dipersiapkan oleh emak gue. Sarapan berupa tempe orek, lima bungkus nasi, fillet ayam goreng dan abon. Cuma Bang Nain yang gak ikut nyarap karena dia lebih memilih ngalap tembako yang jelas–jelas dapat memicu autis kambuhan yang dideritanya.
Ada satu kejadian yang bikin gue ketawa kalo mengingatnya. Jadi ada seorang supir taksi yang pantang menyerah menawarkan jasanya kepada kita. Setiap dia nanya gue jawab “Cakeut Mang!” yang artinya deket kog Mang. Emang bener kita mau cari penginepan yang deket terminal biar hemat. Eh dia BT gitu dan bilang gini ke gue “Atuh si Eneng cakeut – cakeut Deui!!!!”. Lagian salah sendiri nanya melulu, jangan–jangan dia kemaluannya banyak karena kebanyakan nanya. Karena kata pepatah malu bertanya tidak punya kemaluan.
Setelah adzan subuh terdengar kita semua mencari musholla untuk sholat Subuh. Gue yang biasanya kagak sholat jadi ikutan sholat karena gue berfikir inilah cara bersyukur yang tepat karena kita sampai dengan selamat. Nyari musholla aja kayak nyari kondenya mak lampir, susah banget. Apa karena gue dan anak – anak terlalu beriman yaaa? Jadinya Tuhan kasih kita ujian. Menelepon raja setanpun tak terhindarkan. Menurut raja setan yang memiliki inisial S-E-T-O katanya musholla berikut penginapan ada di seberang pintu keluar. Masalah pintu keluar aja jadi perdebatan. Sampe – sampe batere hp gue ngedrop. Akhirnya kita berjalan kembali ke pintu keluar terminal untuk mencari musholla. Dan Thanks God, we found it...... Lalu kita semue sholat subuh. Gue gak lupa berdoa supaya kita gak dikasih cobaan yang gak sesuai dengan kemampuan kita.
Setelah sholat subuh, tim pencari penginapan yang terdiri dari Doni dan Nain mulai melakukan pelacakan. Gue, Majid, dan Eca nunggu di depan musholla. Karena kedinginan dan ngantuk udah mendera seperti angin topan-- kita mutusin untuk tidur di dalam musholla. Tadinya si Majid kagak mau. Tapi akirnya dia mau juga.
Di dalem musholla yang namanya gue lupa, juga banyak yang tidur disana padahal di depan musholla ada papan yang memiliki himbauan halus yang berbunyi “Terimakasih untuk tidak tidur didalam musholla”, tapi orang Indonesia punya prinsip jadikan himbauan sebagai hiasan.
Gue udah masuki tahap mimpi metik stroberi sama Sharuk Khan sambil nari–nari India.Tapi si Eca bangunin gue karena tim pencari penginapan sudah menemukan barang bukti. Akirnya gue keluar dengan muka beriler dan ada stempel bekas karpet di tangan gue. Huhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh....
Doni mengkonfirmasikan pada gue, Eca dan Majid bahwa penginapan yang didapatkan memiliki tarif 60 ribu permalam dengan fasilitas kamar mandi dalam, lemari dan tivi. Setelah ditimbang, diukur dan dibanting akhirnya gue ma Eca mencari pembanding. Sambil beli sisir dan minyak kayu putih, gue ma Eca nanya sama pemilik warung, dimana penginapan yang dekat. Lalu kata ibu pemilik warung di deket terminal dalam kota ada banyak penginapan.
Setelah itu, gue ma Eca pergi ke tempat yang dimaksud. Gak jauh dari terminal dalam kota tepatnya disisi kanan jalan. Emang ada sebuah penginapan dengan banyak kamar berdiri dengan pongahnya. Lalu gue ma Eca masuk kedalam penginapan bernama Hotel Leuwih Panjang dengan harap–harap cemas. Bel pintu kantor di pencet sama Eca. Bel itu berbunyi tettttttt.....tetttttt . Lalu keluarlah sesosok lelaki berkulit hitam manis, berjaket merah dengan tinggi kira–kira 165cm-an. Dia begitu manis dengan tampang abis bangun tidurnya. Melihat mahluk semanis itu gue berharap ada kamar kosong. Karena tarifnya gak gitu mahal. Lagipula untuk kamar yang 55 ribu aja muatannya bisa sampai lima orang. Fasilitasnya juga ok. Ada tipi, air panas, lemari, dan lain- lain. Tapi dasar nasib-- kamar di hotel itu gak ada satupun yang kosong. Menurut penjaga hotel yang manis dan kucel itu, bisa aja ada yang checkout jam 8 pagi kalo kita mau nunggu. Setelah itu gue ma Eca berjalan menuju jalan yang agak kedalam sedikit, disana kita berpapasan sama seorang lelaki paruh baya yang memakai baju koko cokelat. Kita nanya ada gak penginapan sekitar sini selain Hotel Leuwih Panjang. Kata bapak berbaju koko krem itu gak ada. Gue ama Eca akhirnya sepakat ngambil pilihannya Doni dan Nain.
Gak jadi Five Some
After That, gue ma Eca kembali ke seberang jalan untuk menemui Majid, Nain dan Doni. Gue melaporkan bahwa ada sebuah penginapan yang penuh dan selain itu gak ada lagi. Lalu kita semua pergi ke tempat yang udah disurvei sama Nain dan Doni. Ternyata eh ternyata tempatnya ada di jalan yang gue ma Eca telusuri. Tuh bapak-bapak berbaju koko tadi orang mana ya? kog ampe kagak tahu di marih ada penginepan. Kalo orang-aring kenapa dia gak ada di dalem botol?
Hotel yang dimaksud tampak seperti rumah biasa. Di bawah ada sekitar empat kamar. Menurut Doni diatas ada lagi kamar. Kita sepakat untuk ngambil satu kamar untuk berlima, karena kamar yang ada di bawah gede dan cocok untuk berlima tinggal ditambahin satu kasur di bawah untuk tidur para lelaki. Terus sang penjaga penginapan bernama Agung berunding dengan seorang bapak tua yang kayaknya si empunya penginepan itu. Setelah berunding beberapa millennium, keluarlah satu keputusan yang isinya: Tidak boleh berlima pada satu kamar karena aturannya hanya maksimal tiga orang dalam satu kamar. Ya udah kita semua akhirnya nurut, daripada tidur di masjid. Setelah itu kita nego masalah harga.
Sang bapak yang pada masa mudanya sudah pernah keliling Eropa, menawarkan harga 60 ribu permalam. Lalu gue yang memiliki pikiran ekonomis, menawar 50 ribu permalam. Untung si bapaknya mau. Yowizzzzzzzzzzz kita jadi stay for two nights at that motel. Kemudian kita urunan untuk bayar penginapannya. Gue ma eca patungan 50 ribu–50 ribu. Doni, Majid, dan Nain patungan 33 ribu–33 ribu.
Abis transaksi, energi para peserta ubek–ubek Bandung tersedot entah oleh lobang apa, lalu kita semua tidur di kamar masing–masing. Saat itu waktu menunjukan pukul tujuh. Kita sepakat jam sepuluh pagi ngumpul di kamar gue dan Eca untuk meneruskan perjalanan menuju UPI. Dalam tidur gue mimpi di kejar manusia strawberry yang berprofesi sebagai calo di terminal antah–berantah. Gue pun terbangun dengan belek dan keringet. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi WIBB (Waktu Indonesia Bagian Bandung). Gue bergegas ngebangunin Eca yang saat itu kayaknya udah memasuki tahap mimpi basah, karena di pipinya terdapat iler. Si Eca terbangun dengan tampang masih mau tidur. Setelah gue tepak–tepak dengan kekuatan belalang tempur-- si Eca akirnya siuman juga.
Bis ntu, gue mandi. Aer yang dingin gue anggep anget. Namun itu hanya anggapan semu karena kenyatannya air itu mamat dingin. Gue mandi sambil disko biar kagak kedinginan. Sekitar sepuluh menit gue berjuang agar tidak terkena hipotermia. And in the end gue masih hidup dan gue gak membeku. Setelah wangi dan otak gue menjadi waras kembali, gantian Eca yang mandi.
Gue punya firasat tiga lelaki yang menjadi penghuni kamar atas, menggantikan jin tomang, belum bangun. Lalu gue berjalan menuju lantai atas.
Sesampainya di atas, gue mengetuk pintu kamar bernomer 36 B(fiktif si karena aslinya gue lupa). Lalu pintu itu dibuka oleh Majid yang udah bangun sedangkan si Doni dan Nain masih terkapar seperti orang mati. Gue memberi ultimatum pada mereka, kalo sampe setengah jam gak ada yang lapor diri ke kamar gue, mereka bertiga akan dinyatakan mandul oleh dokter kandungan hewan terdekat.
Universitas Patilasan IKIP
Eca sudah menyiapkan dua gelas milo untuk sarapan di kamar ketika gue udah kembali ke kamar gue lagi. Tivipun dinyalakan, gue penasaran dong kepingin tahu saluran lokal Bandung kayak apa. Gue operasikanlah remot tipi. Lalu ada sebuah tayangan lokal yang meliput tentang kuliner gitu. Si pembawa acara memamerkan pizza jumbo yang dijual di Ciwalk. Air liur gue dan Eca menetes bagaikan air terjun. Karena dihadapan kami berdua hanya ada secangkir kecil milo. Lalu gue mencet tombol remot lagi untuk liat Bandung Tv, isinya bahasa Sunda semua. Gue cuma ngerti sadayananya doang selebihnya kayak bahasa planet mana gitu. Mana gue lupa bawa kamus bahasa Subda–Swahili lagi.
Beberapa menit kemudian, dua bocah lekong sudah selesai mandi dan udah gentĕĕng. Tinggal si Nain doang yang belom selesai mandi. Gue rasa si, dia melakukan ritual spa deh di kamar mandi atas. Masa lama banget. Tau jangan-jangan dia mancing di lobang wc lagi. Tau lah anak autis patut dicurigai kreativitasnya.
Beberapa menit kemuadian Bang Aji alias Nain selesai juga mandinya dia ikutan nimbrung di kamar. Terus kita sarapan minum milo. Aer angetnya masak di dapur penginapan.
Setelah kita selesai dengan kegiatan sarapan untuk menghilangkan penyakit sarap, kita berangkat menuju terminal Leuwih panjang pada pukul sepuluh pagi. Untuk mencapai UPIL eh UPI kita harus naek bis yang jurusan Ledeng. Gue ngebayangin UPI itu terbuat dari pipa ledeng. Bis yang kita tunggu itu ber ordo Damri.. yah mungkin dipimpin oleh Dumbledore. And you know what ? ongkosnya Cuma serebu genep ratus. Lebih murah empat ratus dari pada angkot di Depok. Setelah hampir setengah jam menunggu, bis yang ditunggu akirnya dateng juga. Gue pikir wujudnya bakalan kayak howgrat exspres tapi pada kenyataannya seperti bis PPD 52..... Its feel like dejavu. Everyday ride white and blue bus.
Bis Damri yang kita tumpangi penuh sesak seperti kereta sayur dan kambing. Untung isinya orang semua. Kalo ada sapinya, si Eca bisa jadi demam sapi gila. Soale si Eca selalu membawa tas sapi pemberian dari sang kekasih. Gue takut juga si Eca ntar nyusu langsung dari sapinya karena Pangalengan masih jauh kapten! Gue berada di belakang dan disamping gue ada ketek tak dikenal, untung gak bau cuka, kalo bau cuka gue bisa bikin asinan buah di situ.
Si Doni, Eca dan Majid udah masuk ke dalam. Terus gue bisa juga menyusul mereka tapi posisi gue jadi membelakangi mereka. Sedangkan si Nain di belakang, diri gak jauh dari pintu. Mungkin dia punya cita-cita mulia sebagai kenek bis.
Di sebelah gue ada teteh-teteh gitu, dia pake polo shirt item dengan jins item, kayaknya sih mahacicwi. Terus gue nanya ke dia. Berapa jam perjalanan ke UPI. Kata dia sih setengah jaman. Dia anak akuntansi UPI angkatan 2006. Sepanjang perjalanan gue ngamatin pasar yang dilewatin. Pasarnya tuh tipikal pasar tahun 50an, bentuk perempatannya ngelengkung gitu kayak harmoni jaman dulu. Terus pas udah sampe daerah kota, bis melewati perumahan yang didominasi sama rumah- rumah berasitektur colonial. Serasa di Menteng de bo. Ketika bis memasuki kawasan pasar di belakang RS Hasan Sadikin gue dapet duduk, gue duduk disamping mbak–mbak yang tadi. Terusnya Eca duduk di depan gue, dia duduk sama anak UPI juga and mbak–mbak itu anak sejarah angkatan 2006. Hal itu diketahui dari identitas mahasisiwi tersebut yang tertera dari buku yang dibawanya. Kenapa sih di hari liburan yang ceria ini harus ada pengingat.
Memasuki kawasan Jalan Setia Budi mulai terlihatlah lingkungan kampus. Di situ ada Universitas Pasundan, NHAI and of course UPI. Di pinggir jalan nampak cowok-cowok bervitamin A berseliweran. Segar sekali....... apalagi sepanjang hari gue dikelilingi sama cowok butek. Kita berlima akhirnya turun di kampus belakang UPI karena kata mbak–mbak anak akutansi UPI 06 tadi lebih deket ke arah perpus.
Pas masuk UPI timbullah rasa dengki di hati gue, kenapa kampus bekas IKIP ini lebih keren daripada IKIP JAKARTA, kampus kita tercinta? oh kejamnnya dunia..... bangunan di UPI memang ada yang masih gedung tua tapi kampus ini mendapatkan bantuan dana dari IDB untuk mempercantik kampusnya. IKIP Jakarta apa kabar? Oh ya di UPI, tepatnya di deket gerbang belakang ada bangunan tua yang masih dipertahankan dulunya bernama VILLA ISOLA, gaya arsitekturnya art deco, sekarang jadi Gedung Siliwangi.
Karena itu jam makan siang, kita mutusin sebelum baca–baca skripsi di UPI maem siang dulu. Kan gak lucu kalo kita makanin kertas di dalam perpus UPI. Petualangan mencari kantinpun dilaksanakan oleh gue dan teman-teman. Kantin pertama yang kita jelajahi adalah kantin di FIP , tapi disana amat sempit dan pilihan makanannya amat sedikit. Pencarian lalu dilakukan lagi, kali ini ke kantin FBS tapi disana makanannya dikit. Dan akirnya kita nanya sama orang dimana kantin paling gede di UPI. Sama orang itu, kita di beri advice untuk pergi ke kantin yang banyak payungnya. Pas kita ke sana ternyata itu adalah kantin KOPMAnya UPI. Eca sang alumni KOPMA UNJ iri dengan kemajuan KOPMA UPI. Sistem makan di kantin itu adalah prasmanan dan bayarnya setelah kita ngambil makanan.
Gue makan nasi pake kerang ma tumis labuh siam. And hanya dihargai 3 rebu saja berikut es teh manisnya. Si Eca ma Doni juga makan nasi. Majid makan mie rebus make sosis, bakso and telor. Si Nain makan apa ya ? gue lupa, kalo gak salah dia makan kayu dah, dia kan rayap. Setelah selesai makan gue beli gorengan berupa roti goreng ma martabak telor. Satunya serebu, gue beli lima biji. Enak deh bo gorengannya. Dah gitu gak jauh dari meja gue tepatnya di meja belakang pojok, ada tiga orang lelaki kasep surasep. Gue naksir sama cowok yang pake kemeja kotak–kotak dengan daleman kaos putih. Mukanya kayak lekong Jepang gitu. Kalo ada Fara Diba disini bisa dijilatkali tuh lekong. Gue aja ngeliatnya ampe ngeces. Tapi seijo–ijonya rumput tetangga masih indahan kampung halaman sendiri. Maksudnya seindah–indahnya UPI masih bagusan dan gedean kantin di UNJ. Pengamennya cakep–cakep lagi.
Setelah makan, kita poto–poto di taman Vila Isola. Adem bener disitu, mana ada aer mancurnya lagi. Dah gitu disitu ada trowongannya segala. Gue ma doni poto-poto di terowongannya. Di terowongannya banyak coretannya gitu. Vandalisme emang selalu jadi bukti peradaban meski gak beradab
Sehabis ngadem di taman Villa Isolla, kita pergi ke perpustakaan UPI. Perpustakaanya gede juga sih, terdiri dari dua lante. Lante satu tempat buku ma jurnal dan lante dua tempat skripsi. Anak-anak pada otak – atik OPAC nyari judul skripsi. Gue nyariin judul yang dititip ma Ajeng and Yana. Yang ada cuma titipannya Yana. Yana nitip untuk ngeliat daftar pustakanya. Perpus UPI ma UNJ gedean perpus UNJ. Tapi enaknya di perpus UPI skripsinya boleh ngambil sendiri bo!!!!!!!!!!. Gak kayak di UNJ yang diambilin dan dibatesin 2 kali doang-- yang ngelayaninnya aja kayak mahluk buluk. Tapi, gue lieur juga nyari skripsi yang di maksud Yana, tapi untungnya dapet. Trus gue iseng baca skrip historisnya anak UPI. Masa skrip historis anak UPI banyakan pake sumber skunder. Judul–judulnya kayak makalah tugas di jurusan. Misal nih ada judul skrip yang gini Cina pada masa Chiang Kai Sek. Kalo di jurusan pasti kita udah disuruh wawancara anaknya Chiang Kai Sek kali ya? Gue yakin banget kalo di kampus boleh kayak gini banyak dah yang neliti historis.
Si Eca nafsu untuk motokopi skrip yang memiliki kempiripan dengan skrip yang akan dia buat. Sekalian aja gue nitip ke dia wat motokopiin titipannya Yana. Satu lembarnya gope. Mahal juga ya! Bis ntu, mata gue jadi kayak ada hordengnya. Lama-lama gue menidurkan kepala gue di atas meja dan tertidurlah gue. Setelah lima belas menitan gue tidur, si Eca bangunin gue and ngajakin pulang. Lagipula lampunya juga dah dimatiin. Saat itu waktu sudah menunjukan pukul tiga lebih dikit.
Karena azan ashar menjelang, Eca, Doni dan Nain pada sholat ashar apa zuhur ya? gue lupa. Gue dan Majid kembali ke bentuk asal. Menjadi mahluk cacat sholat. Dalam perjalanan mencari masjid, gue beli jajanan kampus berupa cimol jumbo rasa ikan. Kalo di Jakarta cimol ntu kecil–kecil dan diberi bumbu bubuk. Kalo di Bandung cimolnya dikasih saos kacang. Persis kayak batagor.
Sambil nungguin yang lainnya sholat, gue ma Majid duduk di bawah pohon sambil menikmati cimol jumbo dan minum teh botol. Rasanya maknyus kalo kata Bondan Winarno. Cimol ini dapat menimbulkan efek orgasme pada perut yang memerlukan belaian kasih kenyang.
Gue ma Majid ngomongin masalah arsitektur masjid yang kalah sama arsitektur masjid alumni UNJ. Sotoy banget dah kita, bedain oncom ma genteng aja susah ngomongin arsitektur segala. Tak berapa lama kemudian, para insan beriman selesai juga sholatnya. Terus si Nain ma Doni beli batagor dan si Eca menyusul membeli chimol. Lantas, kita meneruskan perjalanan, kali ini kita pengen ke Dago untuk berwisata kuliner
D to the A to the GO
Dari UPI ke Dago kita naek angkot yang ke Kalapa. Angkotnya warna Ijo. Sebelom naek angkot, si Majid the cell phone maniac membeli Tabloid SMS untuk mencari referensi handphone terbaru. Padahal beli juga kagak, palingan di rumah buat bungkus tempe. Di angkot ada beberapa penumpang, lalu seperti biasa gue nanya sama orang kalo ke Dago naik angkot lagi pa enggak. Ternyata gak naik angkot lagi, kita cukup turun di perempatan Dago.
Sesampainya di Dago, kita segera mencari makanan yang aneh, si Eca mengusulkan untuk makan di Mc Donald. Menurut gue kita harus nyari makanan aneh yang kagak ada di Jakarta. Misalkan kambing bantal, jangkrik asam manis or burger oncom. Dan kaki kita melangkah mencari makanan aneh.
Dalam perjalanan mencari makanan, mata kita bak lampu petromaks yang menyorot ke segala arah mencari gerai makanan yang menawarkan makanan eksotis. Lalu mata salah satu dari kami tergoda oleh jajaran tukang Cd or Dvd. Apakah kepingan cakram padat itu bisa dimakan? Bang Nain dan Doni kepengen nonton vcd di cd playernya Eca ntar malem. Lalu gairah makan kami tertunda sebentar mencari vcd disitu. Tapi tidak ada sodara–sodara, karena sekarang vcd adalah barang langka, seperti bunga raflesia.
Lalu kita muterin Dago mencari makanan. Mata gue tertuju pada gerai tukang es buah karena ada anggur ostralinya. Sepertinya menyegarkan dan akan menghilangkan dahaga. Lalu gue ajak anak–anak makan disitu. Terus gue juga tertarik dengan es duren, karena duren yang di pajang adalah durian montong. Anak- anak juga setuju. Beberapa detik kemudia mata gue melihat di sebelah gerai yang kita kunjungi ada warung nasi bakar dan nasi oncom. Kayaknya enak. Ya udah kita mesen juga. Bayaranya patungan, namanya juga bacpackers, everything have to be cheap.
Es Durennya tuh enak banget, kuahnya dari aer es kelapa yang dicampur sama susu putih dan ada anggurnya juga. Rasanya duren banget. Bikin lidah gak mau lepas. Terus es buahnya tuh sweger banget, sensasi tropical feelnya tuh bikin kita pengen jadi bintang iklan sabun colek (apa coba ???). Terus nih, giliran nasi oncom sama nasi bakar yang kita lahap. Nasi oncomnya berasa oncom lah yang jelas, tapi rasa oncomnya sopan banget-- gak ada bau langunya, karena ada rasa kencurnya gitu. Mantap rek!!!. Terus nih nasi bakarnya tuh dilengkapi sama ayam and jamur. Gurih banget. Rasanya kayak lemper gitu. Di tenggorokan tuh masih berasa banget. Sambel terasinya sayang kurang sedep masih enakan buatan mak gue. Karena hari itu udah sore, suasana jadi terasa lebih asyik. Seru aja satu piring berempat untuk setiap porsi. Bisa ngerasain banyak makanan dengan harga murah and meriah, gue gak bakalan ngelupain makan bersama dengan irit di Dago sampe gue tua. Karena rasa kebersamaannya kerasa banget. Sayang si Dona, Niar, Susan and Lembu gak jadi ikut. Coba ada mereka pasti tambah seru.
Bis makan kita bersiap untuk pulang, Si Nain tergiur dengan pisang goreng ponti yang berpenampilan seperti sate. Mungkin Nain ngeliat makanan ini kayak ngeliat gebetan seumur idupnya si Ming – Ming. Dia ampe beli tiga tusuk untuk di bawa ke penginepan. Ngeliatnya aja gue dah kenyang.
Braga deket kog !
Setelah kenyang dan udah ngerasa siap untuk jalan, kita nerusin jalan ngiderin Dago. Kali ini menuju Dago atas. Rencananya si mau jalan sampe Braga.
Di kiri–kanan terdapat bangunan tua yang diantaranya sudah beralih fungsi menjadi Factory Outlet dan café. Kita juga ngelewatin Rs Baromeus. Ada beberapa penunggang kuda ngelewatin jalan. Karena deket–deket situ ada kebon binatang. Si Eca udah ngerengek–rengek minta ke kebon binatang karena kangen sama uaknya. Kita semua menahan keinginan Eca karena kita udah berevolusi dan gak perlu mengingat masa lalu.
Ketika udah ngelewatin perempatan imperium, Braga tak kunjung terlihat. Menurut beberapa narasumber yang merupakan penduduk lokal. Braga udah deket lagi, tapi betis gue dan Eca udah membunyikan sinyal untuk segera di bawa ke dukun patah tulang. Dan ada kekhawatiran bis Damri yang ke Leuwih Panjang gak lewat sini karena udah gelap.
Akhirnya kami menyerah dan menaiki angkot ke Kalapa dan nanti meneruskan perjalanan ke Leuwih Panjang untuk ke penginapan. Ternyata Braga emang dikit lagi kalo kita bisa sabar jalan dan tidak menyerah pada encok dan pegel linu. Tapi masih ada dua hari lagi di Bandung.
Sampe penginepan sekitar jam setengah 8 malem, bocah–bocah pada nonton ekstravaganza di kamar gue. Kita semua pada nunggu acara sinden gossip, terus gue nikmatin dah pisang goreng sate ponti yang dibeli Nain. Enak dan renyah rasanya. Para bujang lapuk itu ingin makan lagi. Gue ma Eca udah nyerah. Akirnya si Doni ma Nain nyari makanan di terminal Leuwih Panjang.
Bis makan dan ketawa ngakak nonton ekstrapagansa ( menurut ejaan bandung ) para lelaki berperut karet itu ke atas dan tidur. Gue pun mandi, tapi kali ini kulit gue kayak anti es gitu. Gue udah mulai ngerasa kegerahan. Jadi gue kagak kedinginan bo......
Bis gue mandi gantian si Eca, bis ntu kita pada molor karena besok kita harus mandi pagi, untuk nerusin perjalanan ke Ciwideuy. Di tengah kemoloran gue, gue ngigo karena dari jendela ada sinar lampu yang terang dan gue beranggapan hari sudah siang dan kita telat ke Ciwideuy. Terus gue bangunin Eca dengan paniknya. Udah gitu pas gue liat jam di handphone udah jam 11. Si Eca rada panik juga. Lalu dia ketawa persis sapi gila karena masih jam 11 pm. And itu masih malem. Saking semangatnya ke kawah putih gue ampe ngigo dan kemampuan bahasa inggris gue jadi ilang. Ampe lupa am ama pm. Yo wiz guw terusin lagi aja molor tapi otak gue masih waspada kali aja besok gue bangun jam 11 pm!!!!!!
Ada Mario Lawalata di Ciwideuy, on July, 9 th 2007
Alarm ponsel gue ngegonggong tepat di samping kuping gue, waktu menunjukan pukul 6 WIB. Gue liat masih dengan keadaan tiga perempat. Gue liat samar–samar ada bayangan putih lagi nungging, ternyata itu Eca lagi sholat. Untung si Eca gue kagak bacain ayat kursi sambil nyemburin aer putih. Gue pun segera pergi ke wc untuk nyetor karena perut gue kepengan mengirim hadiah khusus kepada Dinas Kebersihan Kota Bandung.
Setelah gue nanam saham di wc dan pastinya merasa lega, si Eca udah selesai sholat dan dia pun ingin segera mandi. Gue pun ngalah untuk mandi belakangan. Waktu untuk nunggu Eca mandi gue pergunakan untuk nonton tipi. Gue beranikan diri lagi untuk memutar chanel berbahasa Sunda. Tapi apa daya gue kagak bawa kamus oxford Sundanese. Jadi aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Setelah gue melongo ngeliat orang pada ngomong bahasa aneh, gue pun pergi mandi karena si Eca udah selesai. Ternyata Ibu Kita si Eca udah ngerebus aer buat minum cucu.
Abis mandi ku gosok gigi membersihkan tempat tidurku, habis itu kutolong Eca menghabiskan sarapan pagiku. Bantal guling bau pesing......
Tiba–tiba di lantai sudah terhidang lima cangkir milo dan satu kantong Sari Roti cokelat rasa choco chip yang semalam dibeli di Alphamart. Kesemuanya dihidangkan oleh Jin asal Ciledug bernama Eca. Tanpa diundang, para setan lelaki sudah datang. Mereka pikir roti cokelat dan milo adalah darah ayam pelung dan daging ayam janda. Emang dasar setan dapur!!!! Si Doni ma Majid udah mandi dan wangi tapi seperti biasa si Nain belom mandi dan masih bau ludah basi.
Setelah sarapan ampe sarap. Kita ciao ke Ciwidey. Lalu kita berpamitan sama orang satu RT. Karena kita akan mencari harta karun yang bisa menyembuhkan penyakit autis kambuhan pada teman kita, Nain.
Dari Leuwih Panjang, kita naik mobil tipe L 300. Ongkos sampe terminal Ciwideuy hanya 5000 rupiah saja. Oh iya sebelum berangkat kita semua beli aer mineral di ALPA MARET. Gue iseng ngebeli Tabloid Genie untuk menyegarkan pengetahuan gossip gue. Karena hidup tanpa gosip bagai makan spaghetti tanpa bubuk oregano. No Delicioso!
Mobil L300 yang kita tumpangi bewarna putih dan disupiri oleh seorang Aki-aki. Di dalam hanya ada kami berlima. Jalanan agak padat karena mobil yang kita tumpangi memiliki daya magnet selebritis, apalagi didalamnya ada titisannya si Komo yaitu Majid. Gue jadi inget lagu ketika gue masih kecil, kira–kira begini liriknya:
Majid lagi, majid lagi gara-gara si Komo lewat............
Suara masin mobil mulai ajrut–ajrutan mentang–mentang di dalem mobil ada dakocan yaitu Doni. For ur information, Dakocan adalah boneka berwarna hitam yang berasal dari Jepang. Boneka ini mewakili penderitaan rakyat Jepang setelah PD II.
Eh bener aja disuatu tempat, yang gue lupa nama daerahnya. Kita dioper ke mobil lainnya. Mobil itu bewarna biru tua agak lebam. Yang nyupir masih aki-aki dan ada keneknya yang juga aki – aki. Once more, disitu ada satu penumpang yang juga adalah aki–aki and salah satu diantara mereka bau remashon. Padahal gue udah ngayal di mobil itu bakal ada orang setampan Zaenal Arif yang berbau perfume segar.. Kenyataan terkadang berasa pahit.
Dengan tidak berperikemanusiaan si Nain merampas keperawanan Genie yang akan gue baca. Ternyata dia juga banci gossip kaya gue. Jadinya gue lebih memilih untuk smsan lalu ngobrol sama Eca. Tapi gue lupa gue ngomongin apa. Oh iya gue inget gue ngomongin tentang memori waktu kuliah dulu. Jadi Peureu deh.........
Setengah jam kemudian mobil yang kita tumpangi sudah penuh sesak dengan aki- aki. Why my world full of old man? Udah para lekong yang ikut tak bisa diharapkan. Coba iris kuping gue kalo diantara Majid, Doni, dan Nain ada yang ganteng. Mana ada bukti gak? kalo mereka ganteng dan bisa menghibur mata gue yang haus dengan vitamin A... Lalu gue liat keluar jendela, kali aja ada yang ganteng. Tapi gue belum juga diberi sebentuk keindahan lelaki oleh Tuhan Sang Maha Pemilik Keindahan.
Mobil L300 yang kita tumpangi terus berjalan ke arah selatan, tepatnya ke arah Kabupaten Bandung. Mobil mulai menjauhi peradaban hingar–bingar kota. Pesawahan mulai terlihat. Pegunungan dari kejauhan mulai timbul. Jadi inget waktu ke Wonosobo. Dingin pun mulai merasuki kulit gue yang mulus kayak model bintang iklan Sinzui. Setelah memasuki Soreang, keramaian mulai nampak, karena kita mulai memasuki pasar. Di sepanjang pasar ada penjual, pembeli dan kegiatan transasksi. Ya iyalah masa ada kegiatan gulat profesional. Emangnya kita lagi di sasana gulat.
Untuk membuang bt-- gue rebut kembali Genie gue dari tangan si Nain, ternyata di tabloid itu ada berita tentang kekayaan Mayang Sari. Menurut gue, Bambang Pamungkas eh Bambang Triatmojo sangat royal. Dia tahu Mayang Sari itu bukan anak kecil lagi, yang bakal diem tentrem kalo dikasih permen KOKORIKO . Tapi Bambang membelikan Mayang tiga buah rumah mewah yang terletak di Jakarta dan Purwokerto, satu buah stasiun kereta (lebai).. radio deng and si Bambang buatin Mayang show room mobil Hyundai di Purwokerto. Gile ye si Mayang Sari pinter banget ngebuat Bambang menyisihkan sebagian zakatnya.
Tak terasa mobil yang kita tumpangi memasuki kawasan Ciwideuy, Kayaknya ketinggian Ciwideuy di atas 500 mdpl deh, kuping gue rada pekak gitu alias budeg. Hal ini diakibatkan oleh penambahan tekanan udara, jadi saluran telinga dalam gue beradaptasi dengan lingkungan. Disebelah kanan jalan ada jurang, terus ada bekas rel kereta diatas jurang peninggalan Belanda. Oh ya Ciwideuy sempet jadi medan pertempuran peristiwa Bandung lautan Api. Kebun–kebun Strawberry udah mulai terlihat. Rasanya udah gregetan mau metik strawberry. Rencananya kita mau ke kawah putih dulu terusnya baru ke kebun strawberry.
Mobil L300 tercinta sudah memasuki kawasan Terminal Ciwideuy. Terminalnya gak gitu besar dan udaranya maknyos, dingin bener. Ketika kita turun dari mobil, kita udah dikerubutin sama paparazzi yang nyamar jadi supir angkot. Mereka nawarin kita ke tempat pelesir tujuan dengan harga yang lumayan nyekek leher. 30 Ribu bolak–balik. Padahal, kita udah masang tampang melas, tapi dasar tampang kita kaya artis yang kaya raya jadinya mereka pada gak percaya kalo kita itu pengelana yang masuk dalam golongan mustahiq.
Akhirnya, para paparazzi ntu kita tinggalin. Air mata mereka berlinang karena belom dapet satu jepretan pun. Kita gak jadi deh masuk headline news Bandung Post. Si Doni punya strategi agar kita gak ditembak dengan tariff mahal sama para supir angkot. Jadi menurut propesor Doni begini strateginya
Usulan dari Doni diterima oleh yang lainnya. Lalu kita nyebrang dan menemukan sebuah warung nasi kuning. Ya Udah kita makan nasi kuning deh masa nasi ijo. Pelengkap nasi kuningnya adalah kikil oseng paprika ijo, tempe orek dan satu buah tahu. Karena gue, Majid dan Eca lagi ngejalanin diet ala Madonna jadinya cuma mesen porsi setengah. Rasanya enak banget--double maknyus dah pokoknya........kikilnya empuk banget. Tahunya legit dan nasi kuningnya semantab pantat Riki Martin. Aldiente....
Lalu misi kedua dijalankan, Doni dengan kemampuan bahasa Sundanya mengorek informasi tentang tariff sebenarnya kepada ibu pemilik warung. Yang lain pada makan dengan tenang sambil nguping. Majid kupingnya ampe berubah jadi corong minyak tanah. Menurut ibu itu, kalo kita mau ke kawah putih harus naik angkot dua kali. Pertama kita naik angkot yang ke Situ Patenggang, terusnya kita turun di tanjakan yang menuju ke kawah putih dan naik keatasnya naik pick up. Masing – masing ongkosnya 5000. Jadi kalo diitung ongkosnya sepuluh ribu. Bolak–balik jadi 20 ribu. Anaknya yang punya warung nawarin kita sebuah angkot untuk ditumpangi, supirnya juga mau dibayar dengan tariff biasa. Kita pun setuju. Gak nyangka ternyata si Doni bakat juga jadi logic thinker.
Setelah mendapatkan inpormasi dan kenyang, kita segera meninggalkan warung itu dan membayar. Sepiringnya masa cuma 3000 terus yang porsi setengah Cuma 2000. Murah bener ya! Setelah itu, tak lupa mengucapkan terimakasih kepada ibu pemilik warung beserta keluarga kita meneruskan perjalanan dengan angkot yang sudah dipesan sebelumnya.
Menuju ke Kawah Putih tanjakan–tanjakan yang menyeramkan dilewati dan jalanannya lumayan sempit. Udara tambah dingin dan suasana begitu menyegarkan. Lalu di tengah jalan ada seorang anak muda yang membawa radio model zaman eighties memberhentikan angkot. Gue kira dia pengen menawarkan jasa nge Dj di dalam angkot. Tapi dia adalah tukang service, lumayan kasep lagi-- jadinya agak memberikan pasokan vitamin A. Di dalam angkot anak–anak pada nikmatin keindahan ciptaan-Nya. Hijaunya lembah dan sepinya daerah ini ngebuat kita berkaca bahwa kita adalah mahluk kecil di mata-Nya. Kesunyian memang membawa kita kepada sebentuk kontemplasi.... apa si gue.
Setengah jam kemudian, angkot bewarna kuning yang kita tumpangi sampe juga di tanjakan menuju pintu masuk, lalu kita semua turun dan mengucapkan selamat tinggal kepada supir angkot dan akang pembawa radio eighties.
Tiba-tiba sang supir menawarkan untuk mengantarkan sampe keatas dengan tariff lima ribu, terus dia juga nawarin jasa tunggu dan mengantar kita lagi sampe ke terminal Ciwideuy. Tarifnya jadi 20 ribu. Lalu kita berkonsultasi pada Mbah penunggu jasadnya Nain. Kata si Embah, itu penawaran yang bagus dan kalo diitung–itung sama aja ongkosnya dengan ngeteng. Coz naik pick up keatas juga 5000. 5000 x 4 = 20.000. So kita semua balik lagi ke angkot dan si akang pembawa radio vintage turun dan menungu angkot yang ke situ Patenggang. Gut bai Akang Kasep!!!
Perjalanan menuju pintu masuk dihiasi pemandangan semak–semak dan jurang hijau. Tanjakan semua. Boro–boro ada turunannya. Gue berdoa angkot yang kita tumpangi kagak mogok, karena gak lucu aja gitu, nanjak dengan jalan kaki sampe atas. Gue gak rela betis gue kondean sebelum hari wisuda tiba. Dalam perjalanan ke atas, kita semua ngomongin masalah tetukarasa nanti, tetukarasa adalah acara tahunan jurusan sejarah yang tujuannya menghibur mahasiswa baru dengan beberapa kejutan berbau hostilitas.
Untuk mempersingkat cerita yang udah panjang ini, angkot tercinta sampe juga
ke gerbang Wisata Kawah Putih, tiket perkepala dan badannya dihargai 6000 padahal biasanya 7000. Mungkin petugas tiket tahu bahwa kita adalah rombongan musafir. Lalu setelah membayar uang masuk, perjalanan diteruskan dan gak berapa lama kita sampai di sebuah pelataran parkir. Kalo gue perhatiin sih banyak banget mobil berplat B. Plat D jarang banget. Mungkin orang Bandung sendiri udah bega ma ni tempat. Si Nain dengan mata elangnya menangkap kehadiran seekor kijang berlogo Transtipi. Mungkin lagi ada liputan disini.
Untuk mencapai kawah kita harus ngelewatin sebuah lapangan kecil, di lapangan itu banyak sekali penjual stroberi dan pernak – pernik yang bertemakan kawah putih. Mulai dari syal, sarung bantal sampe ada jidat orang yang bertuliskan: pala gue abis kejedot lereng kawah putih. Hehehehehehehhe......
Setelah jalan kira- kira dua puluh lima langkah ke bawah, kita sampe juga ke kawah putih. Menurut gue kawah putih kayak pantai . aernya putih dan bernuansa biru muda.
Kalimat puji- pujian pada Allah gue ucapin, karena selain pemandangan bagus disitu juga ada mahluk yang ngebuat mata gue mendaptkan suplemen Vitamin A dia adalah .......
Disitu ada syuting Koper dan Ransel and ya ampun bo ! disitu ada Mario Lawalata. Dia lagi moto – moto ama pengunjung. Gue ma Eca didera rasa ingin berfoto bersama Mario Lawalata. Dia amat tampan. Pengunjung yang lain mengantri untuk foto bersama Maruo Lawalata. Jadinya kita ikutan aja ngantri. Si Majid ma Nain lebih memilih untuk menikmati kawah dan pergi agak kebawah. Doni kita suruh motooin. Pada saat nyamuk – nyamuk yang minta moto ma Mario udah pada pergi gue berinisiatif untuk manggil Mario.
“ Mario, mau dong foto bareng “. Kata Gue dengan PD Seppuluh Juta Dollar.
“ Oh kamu mau juga ikut foto “. Kata dia dengan senyumannya yang bikin otak gue mati sejenak.
Lau gue, Eca dan Doni yang akhirnya ikutan di foto, berpose bareng dengan Mario Lawalata. Dia ngerangkul kita bertiga. Gue bisa merasakan dadanya yang bidang. Untung gue gak punya niat merkosa dia. Coba gue punya cowok kayak Mario. Huuh indahnya ........
Abis kita poto bareng dan tak lupa mengucapkan terimakasih pada Mario, Gue, Eca dan Dony nyusul Majid dan Nain yang lagi termenung dipinggir kawah. Di tempat kita ngamatin pemandangan kawah, ada kameramen trans tipi yang lagi nge shoot presenter ceweknya. Si Mario lagi maen ma crew yang lain. Sumpah gue gak nyesel kesini, pemandangannya bagus banget. Saat itu hari sangat terik karena waktunya udah zuhur, tapi udaranya dingin, gue sengaja gak pake jaket untuk nikmatin udara sini. Tenggorokan agak kering karena efek dari belerang. Kita poto – poto disitu. Pertama sendiri – sendiri teusnya rame – rame deh
Setelah asyik dengan kegiatan jepret-jepretan, kita berempat tertarik jalan ke arah sebelah timur karena disitu ada sebuah batu yang terletak agak ke tengah kawah. Lalu kita jalan kesitu deh, dalam perjalanan ke batu itu ada sebuah goa, yang kalo kita lam- lama di depannya bisa gak nafas karena dari goa itu tersemburlah debu belerang. Gue aja sampe nyesek. Gue rasa efeknya lebih dasyat dari kamar gas kamp kosentrasi NAZI.
Doni dan Nain mengurungkan niatnya untuk berdiri dan narsis di pulau itu karena dia melihat keanehan berupa asap putih yang mengebul dari arah seberang. Yang lain jadi tersugesti karena ledakan bisa saja terjadi dan ingat ni kawah masih aktip. Ye udin, akirnya kita berpoto pada sebuah pohon. Kayaknya gak usah dimuat disini karena jelek banget, apalagi si Eca yang kemana-mana bawa sapi gila.
Setelah mata dimanjakan oleh keindahan kawah dan tenggorokan mulai terasa kering karena menghirup udara bercampur belerang kita memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke kebun stroberi. Sebelum kita nyamperin limosine kita ada baiknya untuk buang hajat. Apalagi sebagai kaum perempuan yang gampang beser. Gue dan Eca mencari WC terdekat. WC itu berdekatan dengan toko barang souvenir dan disana banyak sekali warga keturunan Tiong Hoa. Gue sejenak berpikir gak mungkin dong gue ama Eca nyari WC sampe Hongkong? setelah menunaikan tuntutan metabolisme ekskresi, gue dan Eca berkumpul kembali dengan Tiga lelaki yang gak ada indah-indahnya itu. Perjalanan ke Kebun Stroberipun dilanjutkan.
Sekilo tÊh ampe munjung Neng
Menurut inpormasi dari Susan , kebun stroberi yang gak bayar masuknya adalah Saung Sari. Ya udz kita sepakat berangkat kesono. Lalu kita meminta sopir Limosine kita untuk menuju Saung Sari. Perjalanan mengarah kebawah dan pastinya kita jalan menuruni tanjakan. Panas terik membakar jidat gue tapi udaranya dingin. Di dalam limo kita becanda. Si Nain membicarakan kemungkinan kloning kambing dengan Onta padang Pasir, Majid menyanyi lagu sunda dengan gerakan Pencak silat, Eca ngomong sendiri sama sapi gilanya yang di beri nama Amir, Doni tereak–tereak dengan muka nempel di kaca, dia merasa sedang dicoba diperkosa oleh suku Indian yang entah datang dari mana dan Gue sendiri mentartawai kebodohan teman–teman gue itu. Sebenarnya kejadian diatas adalah khayalan gue doang kog, kita membicarakan hal yang normal seperti cara merampok sebuah restoran sesuai GBHN dan UUD’45.
Angkot tiba–tiba berhenti karena ada sebuah angkot mogok dari arah berlawanan. Si Supir angkot yang baik hati meminjamkan beberapa peralatan kepada supir angkot yang angkotnya mabok eh mogok. Peralatan itu terdiri dari kunci inggris, kunci G, kunci A minor dan temu kunci. Singkat kata singkat cerita angkot yang mogok sembuh dan limosine kita bisa diberangkatkan kembali.
En de bre en de bre...... limosin yang kita tumpangi sampe juga di sebuah saung stroberi tapi namanya bukan Saung Sari, tepatnya gue lupa. Terus supir pribadi kita bertanya pada petugas situ. Kata petugas situ stroberinya belom pada berbuah. Mungkin baru dibuahi semalam jadi belom jadi. Lalu supir kita balik lagi ke atas dan kita diantarkan ke sebuah farm house strawberry yang lumayan luas.
Setelah supir limo kita nanya sama yang punya apakah kita bisa nangkep soang disitu, si petugas geleng – geleng. Lalu supir limo meralat pertanyaannya dan bertanya apakah kita bisa metik stroberi dan si petugas bilang mangga ka lebeut ..... Terus kita masuk dah. Gue bingung emang disini ada pohon mangga juga? Ye udin, gw ma anak-anak masuk dah ke dalem dan supir limo kita nunggu di depan.
Gue ma Eca dikasih keranjang. Keranjangnya terbuat dari plastic. Kata ibu yang jaga situ juga, sekilonya ntu 35 rebu. Si Eca metik sama Doni dan gw metik ama Nain. Si Doni mah ikut metik doang, dia girang banget soalnya di Bogor cuma ada buah cecenet ama kacang bogor. Eka bertindak sebagai tuan tanahnya Doni. Gue ma Nain patungan, tadinya Nain kagak mau beli tapi dia ingat pada kekasihnya si Eka. Majid nimbrung dimana aja dia mau, secara dia mutan laler buah.
Menurut petuah dari bapak yang punya perkebunan itu, kalo mau dibawa jarak jauh jangan metik yang merah banget karena bisa busuk di jalan. Jadi metik yang agak mengkel. Setelah bapak memberi start dengan bendera putih item kita belima lari menuju kebon strawberry yang bentuknya berundak–undak. Yang paling nafsu si Eca karena dia pengen paketin ke orang–orang terdekatnya. Sungguh mulia cita-cita Eca.
Gue metikin yang bawahnya masih putih dan terus menulusuri pohon–pohon stroberi yang ditanam di poly bag hitam. Menurut keterangan dari bapak pemilik kebun, kita sebut saja pak kebun, stroberi itu tiga hari sekali berbuah dan sangat sensitive terhadap sinar matahari. Pantesan aja kagak rugi kalo ada yang metik sambil nyomotin stroberi juga.Gue me anak–anak nyomotin stroberi kayak ngalap jambu aer. Enak kali ya kalo ada blender portable, sekalian ngejus dah. Ngomong – ngomong tentang jus, disini juga bisa minum jus stroberi segelasnya 5000. Gue berniat untuk ngebeliin anak-anak jus stroberi. Karena pasti aus dah.
Si Nain yang ebleng metikin stroberi yang udah merah padahal kan kita bakal menempuh perjalanan jauh jadi bisa busuk cepet. Gue udah bilangin dia ngotot, daripada gue ditularin wabah penyakit autis kambuhan jadinya gue nurut aja dah dan berdoa ntar kalo sampe Jakarta kagak busuk. Ketika kita memetik buah stroberi kita juga poto–poto loe. Biasalah di Jakarta adanya kebon jengkol ma nangka.
Keranjang Eca cepet penuh. Dia terlalu sumanget memetik buah stroberi, terus si Eca iseg nanya sama mamang2 yang lagi nyemprotin anti hama. Untung gak ada zat anti cabulnya. Kalo iya bisa ngebuat Doni mokat di tempat. Si Eca nanya isi keranjangnya udah sampe sekilo belom. Terus kata si mamang2 itu belom, menurut keterangan yang diberikan mamang, sekilo itu harus ampe bergunung alias penuh banget. Mendengar keterangan tersebut si Eca jadi kalap dia bener–bener menuhin keranjangnya. Terusnya si Nain memberi petuah kepada gue, menurutnya keranjang kita jangan dipenuhin karena Nain mengendus ada kecurangan disini. Menurutnya itu hanya tak–tik dagang. Kali aja pas ditimbang lebih dari sekilo. Gue setuju sama petuahnya Nain, terkadang Nain itu bisa jadi penasehat spiritual yang lebih mengarah kepada bisikan setan.
Gue dan kontestan pemetik stroberi memutuskan untuk udahan metik lalu menimbang stroberi itu di sebuah bangunan dari anyaman bambu semi permanen yang juga berfungsi sebagai toko hasil olahan stroberi. Gue ampe gelang–geleng sama kreativitas orang Ciwideuy yang bisa ngolah stroberi jadi dodol.dan sambel. Untung aja kagak ada oncom rasa stroberi. Saat gue dan Nain naik ke atas bangunan itu, udah ada Eca yang baru melakukan penimbangan. Muka Eca agak asem, dia ternyata harus mengeluarkan kocek sebesar 50 ribuan lebih karena berat stroberi yang dipetik mencapai bobot satu setengah kilo. Gue ama Nain jadi deg–degan. Sambil nunggu stroberi yang kita petik ditimbang gue nyobain dodol stroberi . Si Eca balik lagi ke atas untuk nyaksiin timbangan.
Setelah ditimbang dan di bacaain jampe ama teteh yang ngukur hasilnya adalah..... keringat gue jatuh dari jidat dan Nain juga ngeluarin peluh tapi dia dari ketek keluarnya.Hasilnya keluar sodara–dara dan jreng–jreng....... Gue dan Nain jadi lega karena hanya 1.1 Kilo Gram saza. Kita bayar sekitar 30 ribuan. Karena patungan gue dan Nain Cuma ngeluarin kocek 15 ribu. Setelah stroberinya dibungkus kita langsung meninggalkan kebun stroberi dan berangkat menuju Leuwih Panjang.
Setelah dipikir-pikir gue gak jadi nraktirin anak-anak jus stroberi karena duit gue menipis kayak rambut professor ahli nujum. Tapi gue janji kalo gue punya kebon stroberi, kelak para kontestan akan gue kasih jus stroberi satu tangki.
Eca masih gak percaya juga kalo dia dibuayain pemilik kebon stroberi. Bukan karena Eca ntu kadal tapi hal ini disebebkan oleh bisnis yang emang penuh dengan intrik seperti pertemanan di jurusan. Untung gue dengerin petuahnya Nain coba kalo gue punya niat ngebeliin rt gue stroberi. Bisa jadi petani gue di Ciwideuy, akibat gak punya ongkos wat pulang. Nain I saulute you!!!
Gue pan bawa tas kecil jadinya gue meminta Majid yang membawa tas segede Aryo untuk ngebawain stroberi gue. Eca juga ikutan dan hanya Nain yang enggak nitip karena takut stroberinya jadi bau kolor. Padahal kolornya Majid bau anggur . Hehehehehehe. Pada saat pulang si Eca masih aja ngebahas penipuan tadi, gue dan yang lain hanya bisa mendengarkan dan bilang pada Eca semua itu ada hikmahnya. Dan hikmahnya adalah kita bisa ngegadoin stroberi lebih banyak di penginapan. Setelah ngedumel Si Eca diem juga.
Oh ya, selama berada di kawah putih dan di kebon stroberi kagak ada sinyal sama sekali. Jadinya gue dan pemakai telkomsel lainnya terisolasi. Sepi banget dunia gak ada ponsel padahal gue udah gatel mw smsan. Tapi ya sutralah. Gak lama limosine kuning yang setia mengantar kita dan menunggu kita sampe juga di terminal Ciwideuy. Lalu kita nunggu L 300 yang kosong, abisnya yang udah ngetem disitu penuh banget.
Beberapa saat, ada juga L 300 yg nganggur. Seperti semut melihat bongkahan gula batu, kita semua langsung naik. Dalam perjalanan menuju Leuwih Panjang semua peserta Tour Da Bandung molor, kecuali gue. Karena gue lebih memilih mengamati jalan.
Ternyata Saung Sari yang dimaksud Susan itu ada di daerah Soreang. Kalo inget kata-kata Soreang jadi inget lagu daerah dari Maluku. Begini nih bunyinya.
“Soreang-soreang.... Soreang anak yang manis, anak manis janganlah dijilat sayang, kalo dijilat ditabok emaknya.....”
Goodbye Bang Nain
Sesampainya di Leuwih Panjang sekitar jam setengah tigaan sore, kita semua segera memenuhi keinginan jajan kita. Gue beli batagor kuah, Nain ma Doni beli batagor biasa. Eca ma Majid beli bakso di deket penginepan.
Di Penginepan, kita segera menggares hasil buruan kita di kamar gue ma Eca. Setelah selesai maem, para lelekong itu pergi ke atas untuk melepas lelah, gue dan Eca lebih memilih nanton tipi. Kebetulan jam lima ada pertandingan Indonesia lawan Qatar, tapi gue ma Eca gak gitu tertarik ntn bola coz ada yang lebih bagus acaranya yaitu infoteiment. Seinget gue gosipnya tentang Ivan Gunawan yang mau kawin sama burung tekukur.
Karena badan udah gatel-gatel kena kringet, debu, dan bulu stroberi-- gue memutuskan untuk mandi. Setelah ntu Eca menyusul.
Lalu kita berdua nerusin nonton tipi, eh tau-taunya ada Bang Nain lagi nyemilin makanan di depan tipi. Indonesia udah menang 2-1 atas Qatar kata Bang Nain. Terus yang lainnya pada nyusul, jadilah kamar gue ma Eca kayak kafe yang nyelenggarain acara nonton bareng.
Di tengah kegembiraan itu, kita sedih juga soale Bang Nain salah satu kontestan yang memiliki gejala autis kambuhan akut memutuskan pulang nanti malem. Dia pulang karena takut gak dikasih duit sama emaknya yang mau pergi ke Jogja. Bilang aja, udah kangen mau ngempeng ama emak. Bisa aja cari alasannya.
Nyamuk-nyamuk Leuwih Panjang
Ketika saat kepulangan Bang Nain tiba, kita semua mengantar kepergiannya. Tak kuasa perasaan ini ingin tertawa karena gue senang satu orang dengan potensi autis akan pulang. Boong deng, gue sedih juga sih Nain pulang, soale gak ada objek bagus untuk dicengin.
Kenapa gue seneng ngecengin dia... hal itu disebabkan sama kepasrahan Nain dicengin, dibalik muka sangarnya dia sama sekali gak punya motif balas dendam. Malah dia hanya tertawa garing kalo kena dera caci maki.
Malam itu sekitar pukul 7 lewat dikit, terminal keberangkatan luar kota Leuwih Panjang tidak begitu ramai, udara sudah agak dingin dan terdengar suara suling gembala kebo . Disekeliling terminal ada bis-bis berbagai jurusan, tukang jualan dan orang yang lalu lalang.
Saat memasuki kawasan parkir bis-bis jurusan Jakarta, gue dan anak-anak yang lain sudah membuat border yang melindungi Bang Nain dari serangan calo sambil bernyanyi:”Penumpang bersatu tak bisa dikalahkan”.(1000 kali dengan hentakan kaki di tanah dan kepalan tangan kiri sebagai tanda perlawanan di udara)
Karena penampilan yang mencolok dengan tas gembloknya, calo-calo yang memiliki radar infra sonic sanggup menangkap radar yang diberikan Nain. Border yang susah payah dibangun pasukan keliling Bandung pun dapat dipatahkan. Sebenarnya secara pribadi gue nyerah karena bau kelek yang dikeluarkan dari ketek-ketek para Mr Calo itu, so gue serahin aja Nain ke gerombolan calo yang bermuka lapar.
Maaf yan Nain, bukanya gue dan anak-anak yang lain gak sayang sama lo, tapi kekuatan Calo itu gak bisa dipatahkan sama mantra apapun. Gue udah smsan sama Harry Potter tapi kata dia, dia belum belajar mantera yang satu itu. Ramuan apapun juga tak mampu mematahkan pagar gaib yang dibuat para calo. Mungkin calo yang tak bisa diberantas itu merupakan afiliasi dari jaringan pelahap maut pimpinan Voldenmort.
Nain ditarik-tarik kayak mie di restoran Cina, tapi kayaknya Nain nikmatin penyiksaan itu. Mungkin bagi die perlakuan seperti itu adalah perlakukan paparazzi ke artis pembuat sensasi. Atau jangan-jangan Nain masokis, karena dia begitu menikmati siksaan berupa kempetan tangan calo dan muncratan kuah dari bibir seksi para calo. Autis masokis adalah penyakit jenis baru. Wah gue harus minta hak patennya atas istilah baru ini.
Semua calo menawarkan bis dengan lirik tekstual yang sama:“Bade kamana? Jakarta? ace apa ekonomi?” . Gue dan yang lain cuma bisa ngetawain aksi para calo dan ekspresi Nain yang girang di jamah tangan calo. Malah terkadang Nain mengerang.
Setelah bernegosiasi dengan para awak bis dan berhasil melewati pagar foib calo, si Nain dengan somsenya milih naik bis ac dengan tarip empat puluh rebu. Gaya banget ya dia. Kenangan bersamamu tak akan pernah terlupakan.
Selepas melepas kepergian Nain, gue and the gang pergi mencari makan malam. Gue dan kawan-kawan memilih membeli nasi timbel. Gue beli nasi sama pepes ucus ayam. Yang lain kalo gak salah beli nasi sama pepes ban bekas. Gue lupa mereka beli apa.
Lalu di penginapan, sebelum menyantap makan malam, kita tahlilan karena Nain baru saja pergi. Bau jempol kakinya masih tertinggal.
Setelah menikmati hidangan Doni dan Majid pergi kekamarnya untuk bobo dan gue sama eca beberes untuk pulang besok.
Train is not danger @ July,10th2007
Pagi di hari ke sepuluh bulan Juli begitu cerahnya, matahari menyinari perjalanan kita berempat. Udara musim kemarau yang panas di Bandung tak begitu terasa. Langkah delapan kaki anak manusia yang patut dipertanyakan kemanusiaannya, melangkah menuju ke arah Terminal Leuwih Panjang untuk meneruskan petualangan di Kota Bandung. Tepatnya ke Jalan Braga, Asia Afrika dan Ciampelas.
Sesampainya di Terminal, setelah menempuh perjalanan beberapa langkah, kita segera mencari bis jurusan Dago. Masih dengan Damri bertarif sarebu enam ratus dan bau-bau tak sedap. Kalo gue dan kawan-kawan si pastinya wangi. Tapi gak tau juga si soale Majid lulurannya pake minyak jelantah bekas goreng martabak kubang.
Di dalem bis, gue ama Eca duduk di bangku dua untuk menghindari terik matahari dari sebelah timur, sedangkan Majid dan Doni duduk di bangku tiga untuk mendapatkan sinar matahari yang dapat membantu proses fotosintesis mereka karena mereka ganggang laut.
Setelah menunggu aba-aba dari mane gitu, gue juga gak tahu--bis Damri akirnya jalan juga. Doa naik kendaraan ajaran guru ngaji gue di TPA gue baca. Lalu pembicaraan ala emak-emak sama Eca terjadi. Kita berencana beli cemilan,baju,bayi dan perabotan rumah tangga. Kita juga berencana bakal balik lagi ke Bandung suatu saat nanti. Pembicaraan begitu sentimentil karena tak sengaja gue mengeluarkan air asin dari pelupuk mata gue. Bukan karena sedih atau lagi ngiris bawang tapi hal ini diakibatkan sama debu yang entah darimana datang dan nempel di mata gue.
Stasiun dimanakah engkau
Bis yang kita tumpangi melewati jalan-jalan dan pasar. Majid sama Doni ngarep banget ngelewatin warung doyong. Tapi Tuhan tidak menjawab iya pada permintaan mereka. Ingat azab nape.
Ketika kernet bis meneriakan jalan Braga, kita semua segera turun. Kita turun di depan kantor Pemkot Kota Bandung. Setelah itu, kita menyusuri jalan sambil becanda. Udah kaya turis dari negeri antah berantah, kita sok–sok memberikan analisa jenis arsitektur apa yang terdapat pada bangunan-bangunan di jalan itu. Apalagi gue yang merupakan pengamat arsitektur, ge memberikan penjelasan ngejelimet sama peserta yang lain. Doni gak ngerti karena dia buka kamus biologi.
Pas kita jalan melintasi suatu bank, kita melihat spanduk promosi PT.KAI yang menginformasikan bahwa PT KAI memberikan diskon untuk tariff kereta bisnis dari Bandung ke segala tujuan. Tariff kereta Parahiyangan bisnis jurusan Jakarta yang tadinya Rp.45000 menjadi Rp.30000. Mata kita langsung ijo karena mengingat Nain aja yang naek bis eksekutif harus bayar 40 rebu, berarti dengan tariff 30000 bisa naik kereta bisnis pan berarti murah.
Yowis, kita terusnya menelusuri jalan menuju stasiun, karena dipinggiran terdapat rel kereta kita pikir stasiun kereta ntu deket. Terusnya kita tanya sama pak polisi dimanakah stasiun kereta berada karena stasiunnya kayak goa belut listrik, susah bener nemuinnya. Kata pak polisi kita harus nyebrang tiga perempatan, ngelewatin terowongan, nyebrang Selat Sunda, nanjak Gunung Burangrang, terus nyampe deh.
Kalo dipikr-pikir omongan Pak Polisi berinisial kromosom xy tersebut sangat tidak masuk akal, jadinya kita mengikuti arah sinar matahari. Empunya adalah si Majid karena dia turunan toge, jadinya dia sangat sensitiv terhadap sinar matahari.
Stelah menyebrangi dua perempatan, ditengah jalan kita ketemu tukang peuyeum dengan sepeda ontelnya. Menurut dia stasiun sudah dekat. Ucapan syukurpun kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Ternyata bener, stasiun yang sekeramat makam mbah Lenon itu akhirnya dapat dijumpai oleh kaki-kaki yang kelelahan ini. Doni sampe sujud syukur dan berteriak: Mak sampe juga euy!!!!
Di depan bangunan stasiun, terdapat tiruan lokomotif yang terbuat dari semen. Bangunannya udah tua juga. Begitu kita masuk kita langsung bisa menemukan loket pembelian karcis. Di loket juga ada brosur informasi pembelian karcis, yasud kita ambil aja. Ternyata yang dapat diskon hanya kereta pada jam pemberangkatan dari jam 12 siang sampe jam lima sore. Kita putuskan untuk membeli yang jam tiga. Tapi kata penjaga karcisnya, kereta yang jam tiga udah gak beroperasi lagi. Mungkin kalo menurut gue kereta itu dialihfungsikan menjadi kereta jenasah.
Ya gimana lagi, akirnya kita sepakat untuk mengambil perjalanan yang jam lima tapi beli karcisnya ntaran aja kalo mau naik kereta. Karena ini masih pagi dan gak mungkin antri karena ini bukan musim mudik.
Si Eca yang pernah memiliki kejadian buruk di kereta ekonomi jurusan Rengas-Jakarta yang gak jelas bentuknya itu agak ragu untuk memilih kereta. Dia lebih memilih untuk pulang dengan bis aja dari Leuwih Panjang. Si Majid sama Doni jadi gak enak sama Eca jadi milih naik kereta juga. Gue masih keukeuh pengen naik kereta karena pemandangannya bagus. Lalu gue membuat statement akan pergi ke Jakarta naik kereta sendirian. Terusnya anak-anak pada khawatir gitu kalo gue bakal diculik dan ditukerin sama abu gosok, jadinya pada mau juga naik kereta. Dalam hati gue tertawa setan.
Setelah itu kita go to Braga yang sempet tertunda.
Jalan Braga yang Nederland Indie
Kita balik ke Braga jalan kaki lho, walau sempet naik angkot tapi cuma seemprit. Tadinya pengen naik becak tapi Si Doni sama Majid takut dia berdua yang bakal disuruh genjot becak. Maklum pekerjaan masa lalu.
Setelah melewati beberapa pengkolan, dua kali perapatan dan empat kali lebaran akirnya kita berempat sampe juga di Jalan Braga.
Berjalan di trotoar Jalan Braga, serasa jalan di kampung halaman gue di Amsterdam. Bangunan peninggalan zaman Pitung ngelas golok, sangat terasa dimarih. Rata-rata bangunan di cat putih dan berasitektur kolonial. Kebanyakan bangunan tua disitu dialih fungsikan menjadi butik, café, atupun toko.Gue seneng banget jalan disini, tapi sayang gue gak ngegandeng orang ganteng. Kurang berasa keromantisannya. Gak mungkin kali gue ngegandeng Majid atau Doni, bisa mengalami trauma psikis gue. Karena gue bisa dianggap homo.
Coba Jakarta kayak gini ya suasananya, mungkin sehabis kuliah gue bisa jalan dan hang out bersama temen-temen gue tiap sore kayak waktu gue di Amsterdam dulu. Ngimpi kali yeeeeeee.
Kita ngelewatin café yang ngejual roti, baunya maknyus banget. Air liur gue membuncah dari kelenjar saliva. Rasa ingin memasuki café itu begitu besar. Kebayang dong roti hangat dengan teman secangkir latte. Mamamia lezatos bener. Tapi gue menghargai temen-temen gue yang biasa makan kue cucur dan minum teh pait. Jadi gue urungkan niat gue makan disitu
Seketika, angan gue melayang pada sebuah adegan romantis dengan Ashton Kutcer. Saat itu, gue berdua sedang menikmati sarapan berdua di kafe itu. Saat gue menikmati gigitan kelima pada roti daging lapis keju mozarela, Ashton bicara sesuatu pada gue. Begini dialognya.
“Mega would you give me a favour?”
“Oh sure honey......”dengan sigapnya gue menatap mata Ashton yang biru dan ranbutnya dia yang keretong.
“Listen to me, and follow my instruction”. Aston meremas tangan gue dengan kuat.
“I’ll do anything for you babe!” kata gue sambil nyeruput latte gue.
“Open ur fortune cake” Ashton meminta gue ngebuka kue semprong keberuntungan yang ada di dalam toples di atas meja.
Lalu gue membuka kue itu, didalamnya ada kertas yang bertuliskan: would you be my soul mate and marry me? if you say yes, kiss my lips and if you say no, kiss my chick.
Pastinya udah tau dong jawabanya. Gue cium bibir Ashton Kutcer yang seksi dengan kremer yang masih ada di bibir gue. Lalu Demi more bunuh diri terjun dari penangkal petir di Gedung Sate. Sekian khayalan gue.
Dalam penyusuran di Jalan Braga si Eca kesambet setan BT. Dia kayaknya kurang menikmati perjalanan kota tua Braga. Dia merengut aja kayak bini yang gak dikasih uang blanja. Gue, Majid ma Doni lebih memilih diam daripada disungut sama tanduk tas sapimya Eca.
Setelah sampai diujung Jalan Braga kita sepakat beli gorengan. Roti anget idaman tergantikan sama singkong goreng. Gue anggep aja sama-sama roti, cuma bedanya singkong make sumbu. Sambil makan gorengan, kita duduk-duduk di tempat taneman yang terbuat dari semen. Eh ada bule lewat, kayaknya si dia masih ngebahas aksi bunuh dirinya Demi More di Gedung Sate gara-gara si Ashton Kutcer mau nikahnya sama gue.
Museum Asia Afrika
Sesuai rencana, setelah menyusuri Braga kita berempat melangkahkan kaki ke Jalan Asia-Aprika untuk mengunjungi Museum Konprensi Asia Aprika.
Sebagai anak sejarah yang memilki pola pikir kecintaan pada sejarah, kita harus mengunjungi situs kesejarahan. Malu dong sama orang bule, mereka aja mau terbang jauh-jauh ke Bandung untuk ngunjungin Gedung Konprensi Asia Aprika. Masa kita yang rumahnya deket dan sama-sama ada di Pulau Jawa gak kesana sih.
Gedung yang tadinya merupakan gedung concorde de socialitet atau gedung ajeb-ajebnya kalangan atas zaman Hindia Belanda ini, masih mempertahankan bentuknya. Kalo dari keterangan dari anjungan cyber di museum, gedung ini memiliki ciri arsitektur art deco yang sempet ngetrend di era 1920an. Bentuk gedungnya dome gitu. Ruangan di ini punya tiga fungsi, yang pertama tempat display, perpustakaan dan kantor.
Di ruangan display ada foto-foto tokoh pencetus Asia Afrika. Ada Soekarno, Ali Jina, Ali Sastro Amidjojo, Pandit Jawaharlal Nehru, Sir Jhon Kotelawala, U Thant dan all of friends. Terus foto gedung ini pasa masa Hindia Belanda juga dipajang dan ada juga foto angkatan 2003 lagi MPA
Selain foto, di ruang display ada juga patung memorabilia tokoh Asia Afrika, bendera peserta Asia-Afrika, dan rekaman pidato Bung Karno beserta teksnya. Yang nyalain pidato ntu adalah gue yang penasaran seperti apa suaranya Bung Karno. Jadi di dinding displaynya disediaan saklar untuk dinyalain kalo mau denger pidatonya Bung Karno, setelah dinyalain timbullah suara Bung Karno yang pidato di Asia Afrika. Kira-kira isinya tentang keharusan negara-negara Asia Arika untuk melawan kolonialisme dan imperialisme.
Hebat ya Bung Karno, bisa ngejadiin Indonesia sebagai tuan rumah acara sebesar itu. Kalo diperhatiin suaranya Bung Karno rada cempreng juga, gue gak bisa jelas banget denger kata-katanya secara zaman dulu khan gak ada tuh yang namanya sound direct. Setelah puas dengerin pidato Bung Karno yang gue bisa tangkep kata-kata ladies and gentlementnya doang gue matiin lagi saklarnya. Moso susah bener matiinnya, butuh jampe khusus untuk matiin saklar ini. Gue komat-kamit baca mantera ”hai saklar beristirahatlah, kasian tuh Bung Karno tereak-tereak, ntar suaranya abis lagi”. Eh bener mati juga tuh pidato.
Abis muterin ruang display kita pergi menuju perpustakaan untuk membaca buku. Ya iyalah masa buat percobaan embriologi. Orang kagak ada donornye.
Di perpustakaan ada buku, kursi, pustakawan, meja, koran, vas bunga, lukisan dan, barang yang banyak banget sehingga gue gak bisa sebutin disini.
Di dalam perpustakaan, gue dan yang lainnya bermain karambol. Bingung ya? ya namanya juga perpustakaan pastinya di dalam kita membaca lah. Buku-bukunya gak berapa jauh sama koleksi perpustakaan kampus. Tapi, yang paling ditonjolin adalah literatur tentang negara peserta KAA. Yang gak paling gue duga di dalam perpus ini ada juga buku-buku tentang pendidikan sejarah. Untung disini gak ada dosen sejarah, kalo ada tinggal nyelenggarain kuliah disokin.
Setelah membaca bebarapa literatur, kita memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke Cihampelas, dan setelah itu go home. Tapi, ritual membuang hajat gue lakuin dulu, percuma dong ke tempat jauh gak ninggalin jejak. Emangnya kucing doang yang bisa ninggalin bunga di pasir.
Wc disini amat menyeramkan, gue ke wc sama si Eca. Yang pipis duluan si Eca. terus disusul gue. Pas gue mau masuk kedalam kamar mandi, gue dikagetkan sama keberadaan sebuah cermin. Gue kaget karena melihat pantulan bayangan gue di kaca. Tak kira jurik.
Ngeliat cermin yang merupakan sumbangan dari Mesir tersebut, mengingatkan gue sama pelem kuntilanak. Khan gak lucu mbak kunti kepergok pulang disko dari cermin itu. Gue jadi begidik ngebayanginnya. Kuntilanak ajeb-ajeb gimane ye ceritanye. terus mabok. Aringking-king ihihihihihihihihihihihihi...............
Keadaan kamar mandinya bersih dan jauh banget sama wc dikampus gue yang berinisial UNJ. Wc nya meski kuno, tapi memiliki lobang persis sama wc di seluruh dunia. Porselinnya bewarna putih terus ubinnya bewarna kuning dengan ukuran kecil-kecil.
Alun-alun terus ke Cihampelas.
Setelah nyetor amoniak di wc museum KAA, kita berempat melanjutkan perjalanan. Menurut petunjuk dari ibu-ibu yang lagi duduk di deket pintu belakang, kalo mau ke Cihampeas kita bisa jalan ke alun-alun terus naik angkot yang ke Cihampelas.
Sebagai anak yang berbakti, kita ikutin petunjuk dari ibu itu. Lalu kita langkahkan kaki kita menuju alun-alun. Kita jalan lewat trotoar karena kalo lewat tengah jalan raya kita bakal mati muda.
Sepanjang perjalanan, kita hanya diam dan kayaknya si Eca masih Bt, dia butuh tatitayang kali ya. Bt bisa aja dipanjangkan menjadi: botak tampan, bau tahi, belum tidur, bambang triatmojo, belok dikit tikungan, de el el.
Sesampainya di alun-alun terlihat ada sebuah bangunan mesar berkubah. Orang muslim menggunakan tempat ini untuk beribadah. Tempat apakah itu? Yang bisa jawab pasti lolos dari uji kelaykan kecerdasan menurut tandar SLB.
Iya di Masjid Raya Bandung itu Doni dan Eca menunaikan sholat zuhur. Gue dan Majid yang mengalami cacad sholat lebih memilih glosoran di teras masjid yang dipenuhin sama pengunjung. Kebetulan di situ ada spanduk gede yang mempromosikan konfrensi Hizbutahrir. Gue jadi inget Rere. Sambil nungguin Eca sama Doni sholat, gue ama Majid nyemilin biscuit dan ngobrolin masalah rumahtangga. Gue ngomongin suami gue si Ashton Kutcher dan Majid ngomongin masalah rumahtangganya dia sama Mpok Nori. Tabah ya Jid......
Setelah semua selesai dengan kegiatan masing-masing, kita lanjutin perjalanan ke Cihampelas untuk Shoping.
Orchad Road of Pasundan
Kita nunggu sang bango eh sang angkot di halte. Karena kita gak tahu mesti naik apa, si Doni sang transleter nanyain trayek sama petugas DLLAJR. Yang gue inget dari bapak DLLAJR itu kumisnya yang jamblang.
Jadi menurut bapak itu, kalo mau ke Cihampelas kita naik angkot yang ke mane gitu gue lupa terusnya turun di Pasteur dan lanjutin ke Cihampelas.
After minutes, kita naik angkot bewarna pink. Lalu dalam hati gue berdoa semoga kita kagak diculik. Angkot melaju melewati Kota Bandung dan bergerak ke arah timur laut. Kita ngelewatin Rs Hasan Sadikin dan dibelakang Rumah Sakit terdapat sebuah pasar dengan sampah yang menumpuk. Jorky banget deh. Nih Rumah sakit ape Bantar Gebang yak? Di angkot itu cuma ada kita berempat. Gue lupa deh kita naik yang jurusan apa, karena di Bandung angkot ntu kayak lalet, banyak bener dan terkadang jalanan yang dilaluin tuh sama aja tapi beloknya aja beda-beda, jadi bikin bengong.
Firasat buruk gue terbukti, bukannya kita diculik sama abang angkot itu, tapi angkot yang kita tumpangi mogok ditengah perapatan pasar mane gitu. Gue lupa juga. Biasalah orang sibuk kayak gue suka lengah sama detail. And si supir gak mengoper kita, malah dia masih berusaha menstarter mesin angkotnya yang hanya berhasil mengeluarkan suara ringkikan kuda binal.
Dengan tekad yang bulat, kita turun dan mengucapkan selamat tinggal sama supir angkot yang gak punya prikesupiran. Lalu kita bayar seadanya, serebu perorang dan kita lanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkot jenis sama.
Setelah menemukan angkot yang berjenis sama kita naik, dan disitu udah ada teteh-teteh yang menggunakan baju berlogo Ciwalk. Berarti kita memiliki tujuan yang sama.
Lalu pada suatu pengkolan, si abang supir meneriakan kata ampelas-ampelas. Gue pikir tuh si abang jualan ampelas ternyata kita udah sampe Cihampelas. Untuk mencapai Cihampelas, kita harus melewati sebuah jalan lurus. Di jalan itu terdapat sebuah pull travel Cipaganti yang terkenal dengan jargon: Tetap berangkat meski dengan penumpang satu orang!
Jalanan disitu mengingatkan gue pada kawasan Tebet Utara Dalam yang terkenal dengan hamparan distro dan kafenya. Setelah melewati perjalanan yang melelahkan, timbullah sebuah toko besar di seberang jalan. Lalu si Eca yang konon merupakan bekas tukang sapu di Cihampelas berkata: Sampe juga....
Toko pertama yang kita masukin adalah sebuah toko baju yang didalamnya ada kaos dan celana jins. Tapi dari semua barang yanag ada disitu tidak ada yang mengetuk nurani gue. Standar ala ITC.
Doni kemudian membeli pernik dari kaca yang isinya ada aer dan glitternya. Katanya buat pacarnya di Bogor. Si Eca ma Majid juga ikutan beli. Mirip sama cristmast ball yang ada salju-saljuannya gitu.
Lalu kita berjalan menyusuri Cihampelas, tadinya mau masuk ke Ciwalk tapi gak jadi karena menurut inpormasi dari menejer gue di LA, para paparazzi disana udah pasang kuda-kuda. Jadi gue dan temen-temen mengurungkan niat untuk masuk ke Ciwalk.
Karena perut belom dikasih nasi dari pagi, akirnya kita memutuskan untuk mencari warung nasi terdekat. Agak susah mencari warung nasi disini, karena sepanjang jalan kalo gak isinya distro ya palingan toko oleh-oleh. Tapi akirnya, secerca cahaya datang dari sebuah warsun yang letaknya agak mojok, warsun itu sempit dan bewarna biru. Majid sama Doni mikir ini adalah warung doyong yang mereka idamkan. Emang dasar jablay pantura. Liat warung aja pikirannya udah mau mesum sama bebek sawah. Hiih hina.
Yang jagain warung itu notabene adalah gadis Bandung berumur sekitar duapuluh lima tahunan. Dia memaki celemek dan memakai penutup kepala dari scraft. Di tangannya sudah ada centong. Padahal itu adalah senjata rahasia untuk mentung kepala copet.
Gue mesen nasi setengah porsi, rolade, orak-arik tahu telor, tumis sayuran, sama teh tawar. Eca milih orak-arik rumput gajah, ati burung puyuh sama air kelapa sawit. Majid dan Doni memilih pilihan menu sama, menyan rebus dengan saos darah bebek jablay khas pantura.
Setelah kenyang, kita teruskan lagi jalan-jalannya. Toko-demi toko kita masuki tapi tetep gak ada yang menarik. Tapi gue dapet juga sih kalung babon seharga tiga puluh lima rebu. Terusnya kita beli oleh-oleh di Ojo Lali. Gue beli keripik tempe keju, kripik pisang sale keju, brownis kukus Amanda dan Pisang molen keju Kartika Sari. Majid, Eca dan Doni beli keripik tempe keju sama cemilan lainnya. Majid beli jangkrik belado deh kalo gak salah. Terusnya Majid beli ngengat saus cokelat.
Setelah puas dan mencapai kenikmatan klimaks, kita putuskan untuk pergi menuju stasiun. Untuk menuju stasiun kereta kita harus naik yang jurusan Kalapa-Stasiun Hall.
Au Revoir Paris De Java!!!!
Sekitar duapuluh lima menitan, sampe juga di stasiun, tapi kali ini kita gak masuk lewat pintu yang menghadap ke replica lokomotif. Setelah sampe kita langsung beli karcis. Kalo diperhatiin lagi stasiunnya kayak stasiun Manggarai. Setelah beli karcis untuk empat orang, kita segera masuk peron. Karena masih satu setengah jam lagi kita duduk-duduk dulu di bangku.
Selagi nunggu kita poto-poto. Entah di depan plang tulisan Bandung lah, di bangku lah, di atas kereta lah, dan dimana-mana. Lalu satu jam sebelum kereta dateng si Eca dan Doni keluar untuk membeli nasi beserta lauk-pauk untuk makan sore yang dijamak dengan makan malem. Sambil nungguin si Eca dan Doni beli nasi, gue ma Majid makanin stroberi dan sambil ngobrol. Majid curhat ke gue kenapa dia ngejomblo sampe lama. Terus gue bilang ke dia kalo dia tuh sebenarnya ganteng dan perlu di pimp my face di ketok magic. Terus dia juga harus beredar di mall jangan di warung doyong mulu. Hehehehe... canda Jid.
Setelah hampir setengah jam, si Eca ma Doni dateng juga membawa nasi bungkus. Ternyata isinya perkedel kentang dan tempe orek. Harganya sekitar tiga rebuan.
Tadinya gue ma Eca mau beli Dunkin Dounat tapi sayang duitnya buat nyalon aja mendingan. Yuuuk. Gak lupa buang hajat dulu untuk meninggalkan jejak. Kali aja pada suatu hari seratus juta tahun kemudian, bekas-bekas peradaban gue ma Eca di Stasiun ini masih bisa menampakan kejayaan kita berdua. Whuehe..he..he
Jam lima kurang duapuluh, sang kereta Parahayingan Bisnis akirnya tiba juga. Kereta itu ada di peron tiga dan itu ada di seberang. Eca yang belom pernah naik kereta api bagus dan memiliki trauma dengan kereta eknomi malah paling antusias pengen segera naik kereta. Ya udah akirnya kita jalan ke kereta dan naik ke atas gerbong. Kalo Doni malah naik ke atas atep kereta. Emang dasar anak kereta.
Kita lihat karcis kita, disitu tertulis kita duduk di bangku 10 dan 11 A-B, brarti samping-sampingan. Terus gerbongnya di gerbong satu. Setelah ketemu bangkunya kita langsung duduk di bangku masing-masing. Gue sama Eca dan Majid sama Doni.
Lalu gue, Majid dan Eca keluar sebentar karena kereta masih jalan lima belas menit lagi. Kita duduk ngedeprok di peron, kayak gembel dari maneeeeee gitu. Gue seneng si Eca bisa girang lagi karena kalo lagi Bt si Eca kayak mas-mas batak gitu. Horas bah.
Eh lagi enak-enaknya bersenda gurau si Doni nge sms ke gue dan bilang kalo kita salah duduk. Ya udah, kita bertiga segera masuk ke kereta, mengangkat barang lagi, dan jalan menuju ke gerbong belakang. Capek bener, gue jadi ngerasain pekerjaan kuli angkut yang ada di stasiun-stasiun kereta.
Setelah sampe dan meyakinkan dengan bertanya pada pak kondektur yang lagi berpatroli untuk mencari orang jelek, kita bisa lega, bukan karea kita jelek tapi karena tempat duduk kita udah bener. Rasanya gak enak untuk duduk samping-sampingan sama Doni dan Majid jadinya gue minta sama ibu-ibu dan bapak-bapak yang ada di belakang bangku gue untuk mau bertukar bangku dengan Majid dan Doni. Untungnya mereka mau, ya udah kita bisa duduk adep-adepan.
Tak berapa lama sang kereta jalan juga. Gue sama Eca mengucapkan selamat tinggal pada Bandung.
Senam Jantung ala Parahiyangan Train
Perjalanan menggunakan kereta Parahiyangan Bisnis ke Jakarta sangat menantang, karena sebelum sampe ke Cikampek perjalanan di dominasi oleh pemandangan jurang-jurang yang ada di bawah kita. Gue rada parno juga karena belum lama ini, ada kejadian kereta anjlok di Padalarang dan jarak rel dengan jurang yang ada di bawahnya seratus meter. Untung tuh kereta gak jatuh. Makanya ketika melewati TKP di Padalarang gue berdoa sama Tuhan dan bilang ke Dia kalo gue sama anak-anak gak bawa tali bungy jumping.
Tiap ngelewatin jembatan dengan jurang di bawah, keringat dingin mengucur deras, serasa naik wahana di Dufan. Tapi ini sensaninya lebih maknyus karena tak ada sit bealt yang menjamin keselamatan. Emang sih masih ada asuransi Jasa Raharja. Tapi gue belom kawin kaleeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee.
Anak-anak yang biasanya demen molor dikendaraan jadi waspada gitu. Mereka semua berpegangan pada pegangan di bangku. Majid dan Doni baca Yasin dan doa bapak kami.
Dari kereta kita juga bisa ngeliat Tol Cipularang, tiang-tiang pancangnya tinggi banget. Kalo gempa gimane ye. Ih amit-amit deh jangan sampe kejadian. Kata si Eca, kalo lewat Tol Cipularang kagak boleh kenceng-kenceng karena angin disono lebih kenceng jadi kalo gak ditaatin mobil bisa oleng karen pengaruh tiupan angin dan bisa kecelakaan.
Terusnya, kia juga ngelewatin terowongan gitu, sumpe deh gelap banget dan sinyal handphone aja mati bo. Ada kali sepuluh menitan ngelewatin terowongan yang nusuk gunung itu. Gue parno juga kalo kereta mogok disitu. Ih nanti ada Kuntilanak merah Casablanca lagi, kali aja dia buka cabang disitu.
Setelah lewat terowongan itu, kita udah gak terlalu sering lewatin jurang, jantung gue mengalami relaksasi tanpa harus dipijit di spa. Dan karena udah laper, kita lahap juga ntu nasi bungkus. Gue jadi kangen sama masakan rumah.
Sekitar jam tujuhan, kereta sampe juga di Cikampek. Pemandangan sawah diganti oleh pemandangan kota. Si Jaja lagi ngapain ya kira-kira? Lalu si Majid bilang, kalo dikit lagi bakal ngelewatin stasiun yang deket sama rumahnya dia yaitu stasiun Kosambi. Gue ma Niar pernah ke rumahnya Majid dan mengalami pengalam gokil juga.
Lalu Kereta berenti di Karawang, Si Majid udah gatel aje pengen turun Tapi die inget dia harus balik kekosan karena harus ngerokin ibu kost. Kereta langsung ngebut dan baru berenti lagi di Stasiun Bekasi. Setelah itu Kereta bablas. Pas kereta ngelewatin Cakung gue jadi inget si Desinya Seto, lagi ngapain yah tuh anak. Terus pas kereta ngelewatin Klender gue, Majid sama Doni siap-siap karena dikit lagi sampe Jati Negara. Si Eca turun di Gambir dan bakal di jemput bokapnya.
Saat kereta sampe di Jati Negara jam setengah delapanan, gue berpesan sama Eca untuk gak nyopet. Gue, Majid dan Doni bergegas turun. Buset dah, di Jati Negara masih aja banyak manusia. Lalu gue berjalan keluar dari Jati Negara. Kayaknya tadi siang gue masih di Bandung deh, kog tau-tau udah sampe Jakarta lagii ya. Cepet amat sih.
Pas udah sampe atas jembatan Jati Negara, gue dan yang lain nunggu Bis 57 untuk pergi ke IKIP alias UNJ, jadi ntar Majid dan Doni nganter gue ke kampus untuk naik Ac 84 menuju Depok. Gue udah kayak pegawai taman lawang, malem-malem ada di pinggir jalan. Payah si Majid sama Doni gak dapet mangsa. Gue aja udah dapet satu. Nyamuk malam yang bikin kulit gatel.
Akirnya 57 jurusan Blok-M Pulogadung dateng juga. Kita bertiga kagak dapet duduk. Gue beruntung punya temen Doni dan Majid karena mereka mau nganterin gue sampe kampus. Perjalanan ke kampus, memakan waktu sekitar lima belas menitan karena kagak macet. Kalo hari biasa, bisa empat puluh lima menit karena jalanannya macan tutul nek.
Sesampainya di kampus, gue dan yang lainnya segera menaiki jembatan penyebrangan. Pas lagi di atas jembatan penyebrangan terlihat bis yang gue tunggu meluncur. Lalu dengan kekuatan kamehame, Doni menyetop bis dan kernet menangkap sinyal yang diberikan Doni. Malah, tuh kernet ngedipin mata ke Doni dan Doni membalasnya dengan jilatan lidah di bibir. Ih jijay bajay.
Gue pun berlari menuju matahari eh maksud gue 84. Sesampainya di atas bis, gue segera mencari bangku yang kosong. Gue memilih bangku dua tapi disamping gue ada bapak-bapak gendut, kebayang dong betapa sempitnya dunia. Karena di atas pangkuan gue ada bondotan.
Gue sampe ke ke rumah sekitar jam sepuluh malem. Gue gak akan pernah lupa perjalanan ngocol ke Bandung. Sampe saat ini gue masih inget langkah kaki kita di jalanan Bandung dan ceplakan pantat kita yang kita tinggalkan di bangku angkot.
We are just ordinary people but we have outstanding experience to share with our friends and children someday.
I love u all guys.
Depok, November 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar