CERITA DAN KARYA CORAT CORET SI MEGOL

Sabtu, 20 Maret 2010

Bayah Yang tak terlupakan


Di dalam Ular Baja
Suatu hari di penghujung tahun 2008, terjadilah suatu peristiwa yang menjadi awal dari suatu perjalanan yang mencengangkan. Lebih mencengangkan dari insiden pelemparan sepatu Bush. Lebih menghebohkan dari penemuan arca yang hilang dari museum Radya Pustaka. Dan tentunya tidak kalah mengharukan dari terpilihnya Haji Barack Irama. Itu loh, vokalis Soneta yang jadi presiden USA kulit hitam pertama.Dah ketawa! beneran ini! Kalo Roma Obama mah anak Menteng asal Hawai yang jadi raja dangdut di Indonesia. Udah, udah, udah berhenti becandanyah. Gue mau serius nih.Ayo semua pasang muka serius. Yang ketawa gue tabok pake bakiak kayu nangka!!!!!
Hari itu tanggal 27 Desember 2007, di Stasiun Kota. Tujuh orang memulai sebuah perjalanan menuju lokasi eksotis. Sebuah lokasi di selatan Banten. Tempat itu bernama Bayah. Pernah kesana? Atau pernah denger? Gue yakin yang tahu nih tempat hanya orang-orang beruntung aja. Karena tempat ini diselubungi kabut misteri. Jarang dijamah oleh manusia. Deskripsi tempatnya nanti aja. Yang penting sekarang gue kenalin dulu peserta perjalanannya.
Peserta pertama, gue sendiri. Pasti lo semua dah pada kenal. Siapa sih yang gak kenal sama orang paling cantik satu Depok? Yey.... benar gue adalah Mega. Gue dijuluki Mega si gadis menawan yang welas asih. Lalu peserta ke dua. Dia adalah Dona, seorang gadis Batak asal Ciracas. Dia dijuluki Inang Lapo. Pekerjaanya adalah seorang guru TK. Taman Kakek-kakek. Lalu peserta ke tiga gadis Rangkas yang selalu mengakui dirinya manis. Sumpah ini fitnah keji. Namanya Endah. Dia lagi mengidap penyakit hati. Hepatisis C . Lalu peserta ke empat, Eka. Siluman Kasur dari Ciledug. Dia sebenernya Batak tapi di akte kelahiran dia dibilang gadis Jawa. Kalo bisik-bisik suaranya kayak orang lagi tereak. Peserta ke lima. Majid. Seorang maniak video bermuatan rating Dewasa asal Karawang. Dia gemar sekali mengunduh video binatang kawin di ponselnya. Peserta ke enam. Isnain. Pemuda asal Condet. Ia adalah lajang yang gemar kejang kalo liat kambing telanjang. Kalo udah begini teman-teman hanya bisa melempar tasbih atau menyalibkan dia. Peserta terakhir tapi gak kalah penting. Doni. Buron pedophile asal Bogor yang suka merawanin anak kucing. Ciri khasnya adalah penggunaan huruf V dan P yan suka ketuker dalam setiap dialog.
Seperti yang dikatakan sebelumnya, Enam kurcaci dan seorang puteri salju itu (tau dong siapa puteri saljunya), akan bertamasya ke Bayah. Untuk mencapai Bayah bisa menggunakan dua rute. Rute pertama lewat Sukabumi. Yang ke dua lewat Rangkas. Kami bertujuh sepakat memilih option B. Sebenernya sih pengen lewat jalan tengah, yaitu lewat laut. Tapi karena kapal pesiar gue lagi dipinjem sama Will Smith buat taun baruan, jadi ya gue nurutin apa kata kurcaci-kurcaci.
Untuk mencapai Rangkas, kami menumpang sebuah kereta diesel jurusan Jakarta-Merak bertarif 200.000. Kereta itu dilengkapi AC, WC dengan Bath Up, TV di masing-masing bangku, hiburan orkestra dan bonus makan siang. Ya, Iya, iya itu semua hanya fatamorgana. Faktanya, kereta yang kami tumpangi bertarif 2000 saja. Berpendingin ruangan Angin Cepoi2 bebas Freon dan beraroma ketek segala rupa. Kereta itu layaknya kereta Jabodetabek regular kelas pra ekonomi. Dalam setiap gerbong ada bangku memanjang, berjendela bebas kaca dan pintu masuk tak berpintu. Hebat khan?
Kami semua duduk sejajar berderet dalam gerbong 3. Ketika masuk ke dalam kereta, gerbong dipenuhi sampah berserakan. Gue heran apakah Bantar Gebang buka cabang disini? Mmmm.....Tiba-tiba ada seorang bocah menyapu lantai gerbong dengan gaya suster ngesot. Karena dia berjasa menyapu lantai, gue dan Dona memberikan dia bantuan ala kadarnya. Gak banyak si, tapi seenggaknya bisa buat beli makan. Lalu, tak berapa lama sang ular baja berangkat meninggalkan Stasiun Kota. Gue berdoa semoga kami semua selamet sampe tujuan.
Sepanjang perjalanan menuju Rangkas. Kita pada ngobrol ngalor ngidul. Ya gak gosipin Nyi Roro Kidul juga. Tapi ngomongin dunia pengajaran. Endah ngomongin anak lesan privatnya, si Dona ngomongin murid-murid ceweknya yang gak pernah pake BH, Doni ma Nain asik masyuk ngomongin masa depan. Katanya mereka berdua mau buka bisnis prostitusi berkedok bimbel. Astopiruloh. Jangan ditiru!!! Tapi cukup didukung dengan mengirim dana ke nomer rekening ini 0021345678. Eka molor, seperti biasa, dan Majid denger lagu dari henponnya. Lagu apa lagi kalo bukan lagu Sunda.
Di suatu tempat, pokoknya dah lewat Serpong, tukang dagang mulai berdatangan. Ada yang jualan makanan, anduk, kipas, buku gambar, rujak yang diplastikin dan yang ngebuat gue dan yang lainnya ketawa adalah.... Ada ibu2 yang jualan boneka bermerk jablay. Padahal tu boneka tidak menyerupai wanita berokmini, berbaju tanktop ketat berenda dan sedang memegang puntung rokok. Sosok boneka itu lebih tepat menyerupai bajing berbulu gak jelas dan berbuntut panjang. Apakah ibu itu telah menemui spesies bajing baru bernama Jablay sp dan membuat replikanya? Entahlah hanya ibu itu dan Tuhan yang tahu. Lalu ada iring-iringan pemain asamble orchestra alias pengamen yang nyanyiin lagu dangdut. Instrumen yang dimainkan adalah gitar, bas, keyboard dan sebuah gendang besar yang dibawa oleh dua orang. Yang nyanyi pake kacamata paman dollit lengkap dengan kumis palsunya. Dan mereka kembali membuat kami tersenyum. Bener-bener ni kereta super eksekutip. Mana ada kereta mahal yang bisa nyuguhin atraksi hiburan kayak gini?
Sekitar pukul sebelas siang kereta sampai di Stasiun Rangkas. Dari luar kereta, penumpang yang mau berangkat ke Jakarta udah mau naik. Mereka memperebutkan kursi yang bekas gue dudukin. Gue sebagai artis, hanya bisa bersikap cool. Nain, Majid dan Doni menenangkan masa dengan tembakan gas aer mata. Dona, Eca dan Endah mengalihkan perhatian massa dengan berjoget dangdut di pinggiran peron. Yah begitulah temen-teman gue. Mereka sangat pengertian dengan profesi gue.







Rangkas-Bayah yang buat kaki ketuker

Setelah membuang hajat di WC, tapi hajat yang satu ini tidak dikuasai oleh negara, kita semua pergi meninggalkan Stasiun Rangkas. Endah sebagai bekas jawara stasiun jalan paling depan. Semua orang takut sama Endah. Karena konon Endah punya jurus senggolan maut. Sejenis jurus yang pernah digunakan gatot kaca untuk mengalahkan gorgom.
Lalu kita naek angkot ke suatu terminal bernama Mandala. Gue baru tahu kalo Mandala sama Panda pernah syuting termehek-mehek waktu episode Endah nyari mantan bebi sitternya. Ternyata bebi sitternya udah jadi angkot. Semenjak itulah nama terminalnya berubah jadi Mandala.
Kita gak turun di dalam terminal Mandala. Karena khawatir insiden stasiun Bayah terulang. Jadi kita turun deket jembatan. Di situ sudah menunggu beberapa mobil ukuran ¾. Endah dengan kemampuan bahasa Sunda dan bekal sebagai jawara melakukan transaksi dengan kernet salah satu mobil jurusan Rangkas-Cikotok. Setelah mendapat harga cocok kita bertujuh digiring masuk ke dalam mobil. Ternyata di dalam sudah padat dengan penumpang. Gue duduk di belakang sama Majid. Bangku belakang sudah dihuni dua lelaki dan satu wanita. Dona dan Endah di bangku depan. Eka dibangku tengah bersama rombongan mak-mak klompencapir. Doni serta Nain yang kadang bisa berubah jadi palang pintu duduk deket pintu. Jadilah kita pepes peda. Pelagi Majid yang kakinya panjang. Dia harus duduk miring dan nekuk kakinya. Mas-mas sebelahnya Majid udah masang muka judes. Dia gak suka gitu kalo arisannya kita ganggu. Dari pada gue dijitak mending gue dengerin lagu dari handphonenya Majid. Gue nyanyi-nyanyi sama Majid sambil liat keluar jendela. Begitu memasuki kawasan Pandegelang penumpang sudah mulai berkurang dan Majidpun pindah ke kursi depan gue. Ah lega sekali.
Gue pun memulai untuk tidur, sambil dengerin lagu menye-menye sebuah tembang berjudul Gugur Bunga....... Tetapi, tidur gue diganggu oleh hentakan mobil yang melewati sebuah belokan. Padahal gue lagi mimpi ngejar layangan sama Robert Pattinson. Untung gue gak senggolan sama mas-mas jutek sebelah gue. Oh ya gue berprasangka buruk gitu sama mas-mas sebelah gue. Jadi khan sebelahnya tu mas-mas ada seorang mas-mas juga. Masa pas gue terbangun mereka berdua tidur sambil rangkulan. Mas-mas yang agak tua’an ngerangkul pinggang mas-mas yang ada di sebelah gue. Adegan itu meninggalkan trauma. Gue pikir mbak-mbak yang ikut rombongan arisan itu adalah pacarnya mas-mas yang tua’an. Tapi gue ber Husnuzon aja. Gue nganggep laki-laki zaman sekarang lagi terjangkit trend suka tidur sambil ngerangkul pinggang......
Karena gue mulai jenuh dengan aktivitas dalam bis akhirnya gue nyetel video binatang kawin di henponnya Majid. Animal planet belum ada yang kayak gini, pikir gue. Mana ada binatang kawin pake baju, terus ada juga yang kawin di penjara. Tapi lama-lama gue mual ngeliat adegan binatang kawin di henponnya Majid, mending ngeliat pemandangan keluar jendela. Kali ada adegan binatang kawin beneran di pinngir jalan... Lalu gue amati teman- teman gue. Semua orang tertidur pulas. Majid aja mpe ngigo dikejar kingkong. Dona ngigo laponya digusur dan dijadiin hypermarket. Kecuali gue, kenek dan supir. Lalu supaya ada variasi gue liat pemandangan di luar mobil yang melaju dengan kecepatan sedang. Jalanan didominasi dengan pohon, semak, kebon karet, tebing, pohon, kebon karet, tebing, kali, jembatan, kambing joget, rumah penduduk, pohon, tebing, tukang martabak mesir, rumah kambing joget, semak, kebon karet, semak, tebing, pohon martabak mesir, pohon kambing jaoget....lama-lama jadi nagaco...pikiran gue jadi berhalusinasi dan mata gue ngantuk juga. Gue akhirnya bisa tidur hanya sekitar lima belas menitan. Gak ada mimpi. Samar-samar hanya terdengar deru suara mesin.
Begitu gue bangun, mobil sudah memasuki kawasan malingping. Konon nama tempat ini dinamai seperti itu karena dahulu tempat ini adalah pusat kerajinan emping yang belum memiliki nama. Alkisah, suatu hari ada maling dari kerajaan sebelah yang ingin mencuri resep emping dari kampung itu. Hari pertama sang maling dapat mempraktekan ilmu malingnya dengan lancar. Dan di hari ke dua dia dapat mencuri emping bersama pohon melinjonya dengan sukses. Tapi pada hari ketiga aksinya dipergoki oleh seorang gadis kurang waras dan dia pun berteriak. Mak ada Maling Emping. Ada Maling Emping. Ada Maling Kundang...................................Maling Emping.... diamana anakku-dimana anakku...... Dus, setelah teriakan anak itu didengar oleh warga desa, maka maling itu dapat ditangkap. Semenjak itu nama desa tak bernama yang menjad sentra kerajinan emping berubah nama menjadi Malingping. Konon peresmian nama desa itu dicetak disebuah prsati berbentuk emping rasaksa. Terserah mo percaya pa enggak.
Ketika masuk Malingping, pemandangan pantai dengan batu-batu karangpun mulai nampak. Gue yang jarang liat pantai tereak-terak kayak orang sarap. Woo bagus bener. Tereak gue. Jidat gue yang tadinya lebarpun menciut karena keheranan melihat aer asin sebegitu banyaknya. Dan di situ kita juga bisa ngeliat pertemuan antara muara dan laut. Jadi inget pelajaran geografi.
Tiba-tiba Doni menunjuk ke suatu arah diselah kiri.”Gol liat deh” Kata Doni. Kata Gue “mane-mane?” Gue pikir ada rombongan model lekong yang seksi. Ternyata bukan. Doni menunjuk satu plang yang berbunyi: JALUR PENYELAMATAN TSUNAMI. Dalam hati, gue ngucap amit-amit jangan sampe deh. Gak lucu pan lagi liburan tiba-tiba ada aer setinggi alaihim ngejar-ngejar gue dan teman-teman. Sumpah gue jadi inget Tuhan saat itu juga. Pikiran jelek itu gue alihkan dengan melihat barisan pohon kelapa, dan pantai dengan pasir putih di sisi kanan jalan serta sawah di tanah berbukit yang ada di sisi sebelah kiri.
Di suatu pasar, rombongan arisan yang ada di samping gue turun. Jadi gue bisa gerak dengan leluasa penuh suka cita. Dan abang kenek juga leluasa godain tante-tante di depan gue yang ngebawa rantang. Jijay banget gue liat keneknya ngegodain tante-tante itu. Kalo gue mah udah gue tabok pake rantang kalo gue jadi tante-tante itu. Kenek itu bikin gue baca ayat kursi meski yang gue baca doa makan. Lalu di suatu jalan ada mobil yang keperosok ke parit. Untung penumpangnya gak pape. Salah satu penumpang mobil naas itu, seorang ibu-ibu, numpang bis kita. Tu ibu-ibu gak cedera sama sekali. Padahal dia, gue yakin, trauma juga. Karena napasnya tersenggal-senggal. Dan gue pun kembali membaca doa makan supaya kita semua selamet dan gak ngalamin seperti apa yang ibu itu alamin.








BAYAH HERE WE COME...........

Akhirnya pada pukul sekitar tiga, kita semua sampe dengan selamat juga di Bayah. Begitu turun kita udah dikerubungin ama tukang ojek yang mau nganterin kita sampe tempat tujuan yaitu Karang Taraje. Tarifnya sepuluh rebu. Tapi kita pada gak mau. Karena kita maunya seratus ribu. Secara kita gatel kalo megang duit receh. Maka Doni menelepon pamannya untuk bertanya apakah dari tempat berhenti ke penginapan jauh kalo jalan kaki. Kata pamannya enggak. Padahal tukang ojek bilang jaraknya tujuh kilo. Karena kita lebih megang kata-kata pamanya Doni, menganggap omongan tukang ojek lebay, dan lebih percaya keada Tuhan, so kita memutuskan jalan kaki. Gak berapa lama, kira-kira tiga menit. Di suatu ATM, Nain bilang berenti. Dia mau ambil duit. Gue seneng karena Naen mau nyawer duit. Tapi dia ngambil uang buat dirinya sendiri. Dasar egois!!! Dan kitapun istirohat sejenak di kursi tunggu ATM itu. Kebetulan gue bawa susu jadi gue minum aja supaya kuat. Setelah Nain selesai melakukan ritual, kita lanjutin lagi jalan kaki. Cuaca saat itu sangat cerah dan khot. Tukang-tukang ojek masih aja keukeuh nyamperin kita. Tapi kita tak gentar. Bolang aja gak pernah naek ojek kalo bepetualang!! Masa kita kalah ma anak-anak.
Setelah jalan sekitar sekilo, kita menemui jembatan yang membelah muara dengan laut. Bagus bener deh. Pastinya secara semua adalah banci poto. Kita pun putu-putu di sana. Gue jadi ngerasa kampungan, gue ngerasa malu dengan orang-orang disini yang saban harinya liat laut. Padahal gue turunan pelaut. Nenek moyang orang Indonesia pan pelaut.
Eni wey bas wey......setelah putu-putu, perjalanan menemukan wisma yang direkomendasikan pamannya Donipun dilanjutkan, Wisma itu bernama Perdana. Jalan yang dilalui mulai menanjak. Beban di punggung mulai berasa berat. Gue bilang ke anak-anak. Cari tumpangan dong, truk kek, limosin kek, or kereta Cinderella kek. Para wanita setuju. Karena mereka merasakan seperti apa yang gue rasakan. Tapi limo dan kereta Cinderella gak da yang lewat situ. Yang lewat jalan itu cuma truk. Lalu ada sebuah truk kosong yang lewat. Kita stopin dengan gaya yang berbeda. Gue nyetopin dengan gerakan Dewi Persik dalam video klip “Stop Kau Mencuri Dompetku”, Dona nyetopin pake jempol yang digerakin kebelakang, Endah nyetop pake pinggul yang digeal-geol, Eca nyatopin pake suaranya yang menggelegar. Dan para lelaki nyetopin pake paha. Cuih sungguh nista. Apakah mereka lupa bahwa mereka sudah bertobat dan bersumpah untuk tidak menjadi wanita jadi-jadian???? Eling2...
Karena awak truk gak tahan liat pahanya Nain yang berbulu dan takut bulu-bulu itu membutakan mata, jadi kita diperbolehkan menumpang. Dona dan Eca duduk di depan. Yang lain termasuk gue diri di bak truk. Di atas truk, angin bertiup dengan hebohnya. Gue ma Endah tereak-tereak. Tikungan demi tikungan kita lalui dan akhirnya kita sampe juga di penginepan.
Penginepannya sejenis bungalow tapi kelas melati. Catnya warna putih. Arsitekturnya gaya sula-suka lo mau nyebutnya ape. Bentuknya kayak kamar-kamar yang bejejer gitu. Kira-kira ada enam kamar yang bejejer. Satu kamar luasnya sekitar lima kali enem meter. Kita milih kamar yang pertama yang letaknya di sisi yang paling kiri. Di dalam kamar ada satu tempat tidur king size dan kamar mandi. Di luar ada teras yang dilengkapi dengan meja dan dua buah kursi. Jendela kamar tepat menghadap ke laut. Jadi dari teras kita bisa liat ombak pantai selatan yang besar dan berdebur dengan cadasnya. Enak juga tempatnya. Sepi. Serasa di tempat praivet. Lalu kita tanya berapa harga satu malam pada yang berwenang. Kata akang penjaga wisma tarifnya 150 ribu. Kita bertujuh memtuskan untuk menempati satu kamar dan meminta ekstra bed. Jadi kalo ditambah kasur tarifnya 200 rebu permalam. Ya udah kita deal dan gak kita tawar. Karena itu murah bener.
Lalu setelah menaruh bawaan dalam kamar. Kita jalan-jalan ke pantai yang letaknya ada di bawah kompleks penginepan. Sekalian maem siang di sana. Kebetulan mak gue bawain anak-anak makanan. Yaitu sekantong penuh kering tempe, sekantong abon, telor dadar dan tujuh bungkus nasi. Serta dua botol aer putih ukuran satu liter. Makannya di atas sebuah batu yang udah rata. Kayaknya ni batu dijadiin petilasn deh. Soalnya ada bekas bakaran disitu. Jadi sebelum makan gue gak lupa bilang permisi sama yang ada di atas batu itu. Pan aneh kalo tiba-tiba nasinya berubah jadi pasir karena songong gak bilang permisi.
Setelah makan, kita jalan-jalan di sekitar pantai. Karena tuh tempat dinamain Karang Taraje. Maka tempat itu dipenuhi oleh batu-batu karang berwarna hitam. Ya iyalah masa dipenuhi kembang-kembang. Mangnya ni taman bunga?
Ada sebuah dongeng tentang asal muasal nama Karang Taraje. Taraje pan artinya tangga. Jadi dulu di tempat ini tinggallah sebuah keluarga kecil. Anaknya malas banget. Disuruh apa-apa pasti bilang Ntar Aje. Terus pada suatu ketika ayah anak itu ingin menguji anaknya. Kata ayahnya begini: “Ananda, sudikan engkau mengambilkan bulan untuku?”
Lalu sang anak berkata: Ntar Aje Ayahanda, ananda masih capek. Tadi baru membantu Ibu mencabuti bulu ayam. Tangan ananda terkena encok.
Ayahanda berkata lagi: Ayah maunya Karang, gak jadi bulan
Anak menjawab lagi: Tidak ayahanda Ntar Aje.
Ayah murka lalu berkata: Karang!
Anak menjawab dengan santai: Ntar aje Ayah
Ayah tambah murka lalu berkata: Karang!
Lalu perdebatan itupun berlangsung sampe dewa mengutuk mereka menjadi bongkahan-bongkahan karang yang membatu. Dan oleh orang-orang sekitar situ dinamakan Karang Taraje. Cerita ini dapat dibaca dalam buku yang berjudul babad tanah Banten.
Einiwey......kita bertujuh sangat menikmati suasana pantai. Gue, Dona,Dan Endah berenang-berenangan di ceruk-ceruk karang yang membentuk kolam alami. Adem banget. Kadang-kadang ada anak kepiting numpang lewat. Lalu sang juru foto, Bang Nain memotret aksi kita berenang-berenangan di ceruk. Tema posenya adalah. Tiga siluman buaya bergosip. Selain di ceruk kita juga berenang di tempat yang agak dalemen dikit. Tapi gak usah khawatir kita gak berubah jadi ikan duyung kog. Dan kita gak takut ketelen ombak juga coz banyak sekali karang-karang yang mecah ombak. Eca, Majid and Doni kagak ikut berenang mereka takut berubah jadi teripang katanya.
Terus kita juga kejar-kejaran ama ombak. Gue ajakin ombak maen gobak sodor tapi ombak-ombak pada gak mau. Krena mereka gak bisa ngejegal. Setiap ombak nyamperin, gue tereak-tereak histeris kayak takut kebawa gitu. Seperti gadis yang hendak diperkosa dan takut kesuciannya terenggut..... hahahahahaha. Dona sang penguasa laut selatan marah-marah kalo gue tereak-tereak. Dia pasti berkata “Tenang Ga, semua akan baik-baik saja....” Pas ngomong kayak gitu, Dona bener-bener kayak Nyai Blorong.
Ketika hari mulai sore. Gue, Endah ma Dona mutusin untuk naik ke penginepan. Badan kita udah dipenuhin pasir. Kulit kita berasa asin-asin kaldu ayam. Rambut juga udah lengket. So kita pada mandi. Setelah badan segar, wangi dan pake baju yang kering. Kegiatan rumpi di dalam kamar dilakukan. Sekitar jam setengah enaman sore, Doni and Nain beli makanmalam. Mereka berdua pinjem motor yang punya penginapan. Doni ma Nain demen banget dikasih tugas itu karena mereka bisa indehoyan di jembatan.
Sambil nunggu mereka berdua. Gue dan yang lainnya ngbrol-ngobrol dalam kamar. Dasar penginepan murah ya, lampu kamar segala mati lagi. Karena masih ada cahaya dari luar kita cari lilin. Untung ada lilin. Kalo liat llin gue jadi inget temen gue yang memiliki profesi sampingan. Piggy snuggle. Itu tuh kalo Bahasa Indonesianya mah babi ngepet. Inisialnya dari S. Kalo setiap liat lilinnya goyang pasti gue berusaha untuk menyelamatkan api.
Sekitar setengah jaman (dari jaman masehi sampe jaman setelah masehi) Doni ma Nain sampe ke penginepan. Mereka beli nasi doang karena kering tempenya masih ada. Gue ma Majid masih kenyang jadi gak ikutan makan. Doni n Nain juga beli kartu gaple. Maka kita juga maen gaplek di teras. Yang pertama maen adalah Inang Lapo, Nain, Doni dan gue. Kekalahan demi kekalahan gue terima. Kartu gue selalu sial. Dan muka gue udah kena gincu. Karena gak tahan dengan beban mental main dalam perang yang tidak seimbang, gue mundur dari permainan. Endah menggantikan posisi gue. Lalu gantian si Abang Naen yang kalah. Dia berdalih gara-gara gue duduk deket dia, dia jadi sial. Lalu setelah Naen, gantian duduk ma Dona, dia masih tetep kalah. Berarti gak terbukti dong. Tapi Inang pernah sich sekali kalah. Tapi itu khan gak membuktikan apapun. Masa iya gue bawa sial, Gue pan dewi fortuna. Terus Doni mencoba apakah iya kalo duduk deket gue sial. Tapi Doni mematahkan teori itu dia gak pernah kalah. Emang tuh si Doni begaulnya ama supir truk pantura waktu dia masih aktif kerja di warung doyong. Jadi dia udah menguasai teknik pergaplean. Malah dia mau bikin buku panduan Bunga Rampai Permaianan Gaplek seluruh dunia. Mulai dari sejarahnya, metodenya, cara bermain, dan hukuman yang dapat diterapkan pada pemain yang kalah.
Lalu setelah semua capek. Semua masuk ke dalam untuk bobo. Karena besok kita akan berpetualang mennelusuri keindahan Bayah.
















Let’s surfing On the Truck



Hari ke dua di Bayah, tepatnya tanggal 28 Desember 2008, sebelum meneruskan petualangan. Kira-kira jam enaman kita maen-maen dulu di pantai. Kita ketinggalan sunrise. Karena sunrisenya gak sms dulu kapan mo terbit. Gue, Endah, Doni moto-moto pake digicamnya Eca. Terus gue ma Endah nyari-nyari kerang. Dona scubadiving nyari lapo di dasar laut... enggak deng die keliling penginepan nyari wangsit. Eca teleponan ma pacarnya. Dia minta tanggung jawab karena kucingnya hamil. Nain n Majid mojok di sebelah kanan pantai. Nanin mengklarifikasi berita bahwa dia ama Doni ada main itu tidak benar. Karena Nain masih sayang sama Majid. Hahahahahahahaha.......
Sekitar jam setengah tujuh. Kita semua balik ke pantai untuk mandi dan mempersiapkan perbekalan untuk berpetualang. Gue ama Endah juga ngejemur baju yang dicuciin Dona. Gue ama Endah ngejemur baju di pekarangan rumah utama. Di deket tempat ngejemur ada sebuah bekas kolom berenang yang udah jadi puing.
Jam sembilan pagi kita berangkat untuk jalan-jalan. Kita akan menelusuri Bayah dengan cara berjalan kaki! Sama seperti bolang. Pernah gak lo liat bolang betualang naik bajay? Perjalanan dimulai kira-kira jam delapan pagi. Tujuan perjalanan hari ini adalah ke Pulau Manuk, Pantai Sawarna dan Goa Jablay eh Lalay.
Sambil berjalan kita bercanda ria. Kita saling melemparkan jokes dan tebak-tebakan. Pantai di pagi hari sangat indah. Matahari tidak malu menampakan senyumanya, Cuaca saat itu cerah ceria. Angin bertiup sepoi-sepoi terasa adem di ketëëk. Kami bertujuh memanfaatkan sinar di pagi hari untuk memenuhi kebutuhan vitamin D. Apalagi si Endah ama Dona yang sudah terkena gejala osteoporosis. Kecepatan angin dikala itu kira-kira 20 knot. Gue menggulung lengan baju gue supaya tangan gue jadi cokelat. Jadi pan ketahuan abis ke pantainya saat gue udah balik ke Depok.
Sekitar setengah kilo kita memasuki Desa Sawarna. Tapi kawanku, Pantai Sawarna masih jauh sekali. Kata penduduk situ masih sepuluh kilo. Gue rada berjengit saat mendengar kata sepuluh kilo. Tapi kita tak gentar karena masih ada harapan. Kita berharap pada truk kosong yang bersedia mengangkut kita. Mungkin kita bisa nyamar jadi kelapa sawit atau pasir yang gak sengaja gak keangkut....
Lalu setelah berjalan sekitar dua ratus meter dari gapura. Kita menemukan pantai tanpa nama. Pantai itu sangat indah dilihat dari kejauhan. Pasirnya putih dan berkilat-kilat. Tidak ada manusia disitu. Lalu kita menghampiri pantai itu. Untuk mencapainya gak terlalu sulit. hanya melewati jalan setapak yang kecil. Garis pantainya lebar bener dan gak ada karang yang mencuat ke permukaan. Warna lautnya begitu biru. Ombaknya lagi gak gede. Jadi kita aman kejar-kejaran sama ombak. Di pantai nampak ada bekas jejak ban ukuran ban jeep. Kayaknya ada yang abis off roadan di situ. Gue dan yang lain loncat-loncatan dengan girangnya. Sembari tafakur alam lah. Rasa girang yang tak terkira melihat pantai yang begini indahnya adalah salah satu cara untuk berterima kasih pada Tuhan yang punya semua pantai yang ada di Bayah. Yang memiliki semua pasir indah ini. Yang punya semua air yang biru cemerlang ini. Gue jadi merasa gue ini bukan apa-apa di mata Tuhan. Gue ini cuma salah satu partikel pasir yang ada di semestanya Tuhan. Kog jadi kayak Mama Dedeh sih.....
Moment ini pastinya segera diabadikan oleh kami yang banci foto. Ada foto sendiri-sendiri. Rame-rame. Foto sambil loncat. Sambil maen pasir. Sambil loncat megang pasir. Sambil pasir loncat-loncat. Dan sambil lalu. Kita berada di pantai itu sekitar setengah jam. Karena kita harus sampai di Pulau Manuk siang hari.
Awalnya kita ingin menelusuri pantai tapi gak jadi karena kita harus ngelewatin sungai kecil. Kalo kita nekad kita juga harus nekat bash-basahan. Karena gak ada yg bawa baju ganti jadinya niat itu kita urungkan. Si Dona udah gatel mo nyebur karena kalo gak kena aer payau dia bisa berubah jadi puteri dayung.



Perjalanan ke Pulau Manuk lumayan melelahkan. Entah berapa kilo jalan yang kita lalui. Untung jalananya bagus. Jadi gak berasa capek banget. Di suatu titik kita melihat pemandangan petani yang menanam padi di sebelah sisi kiri jalan. Perjalanan ini begitu lengkap. Disamping bisa menikmati wisata pantai kita juga masih bisa menyaksikan aktivitas bersawah.
Lalu setelah berkilo-kilo meter menyusuri jalan beraspal, kita sampe juga di Pulau Manuk. Tempat ini bukan pulau karena kita gak perlu nyebrang ke tempat ini. Masuknya gretong lagi. Disana ada orang-orang berkelamin laki-laki sedang berenang dan bercanda di dalam air. Pantes namanya Pulau Manuk.... einiwey gue jadi menyesal gak bawa baju ganti karena air laut dan ombaknya yang tenang menggoda untuk diceburi. Gue juga liat di situ ada juga yang diriin tenda. Its would be fun if we built tent and in the middle of night we sang a song around the camp fire..... Isn’t it?
Yang indah dari perairan di Pulau Manuk. Kita bisa liat batu karang yg mencuat di tengah laut. Kayak Tanah Lotnya Bali gitu. Kita sebenernya juga bisa aja sih naik perahu untuk menuju ke sana. Tapi uang selalu menjadi kendala..... Coba bisa bayar pake daon. Si Eca pan punya stok daon banyak secara kadang-kadang dia pan bisa berubah jadi kanalitnuk. Hehehehhee peace atuh ca... ini hanya canda.
Karena perut kita sudah mengeluarkan bunyi-bunyian bermusikalitas tinggi (Gue dengan lagu talak tilu, Dona lagu Alusia lengkap dengan gondangnya, Endah lagu house tarling, Eca dengan lagu gambus, Nain lagu gugur bunga, Dony mengeluarkan suara jangkrik menstruasi dan Majid mengeluarkan bunyi-bunyian barang pecah belah) jadinya kita sepakat untuk makan siang. Di tempat itu tidak ada KFC, AW, Solaria, Red bean atau Ampera jadi kita makan gado-gado dan sebagian ada yang makan mie. Lontong gado-gadonya kenyel gity kayak bibir onta . Kata si Dony hasil rendaman boraks. Tapi bodo amat dah perut gue udah laper berat.











Setelah makan kita berdebat soal jadikah kita meneruskan perjalanan atau tidak. Eca yang mengidap batuk-batuk pada betis menyerah. Lalu Dona si Inang Bolang tidak gentar dan berkata untuk teruskan perjalanan. Kalo harus nginep di jalan ya nginep aja. Gue setuju dengan Dona, daripada penasaran dan menyesal di kemudian hari akhirnya kita meneruskan perjalanan. Meski harus nginep segala. Maka kita meneruskan perjalanan dengan semangat Thomas Matulesi melawan BELANDA.
Setelah meninggalkan lokasi wisata Pulau Manuk, kita kembali menjadi pengukur jalanan. Alat ukurnya pun gak ada yang bener. Gue bawa timbangan singkong. Nain, Doni dan Majid sepakat membawa jangka sorong. Eca bawa penggarisan merk butterfly yang ukuran 15 cm. Dona bawa meteran kaen. Dan endah yang paling super gak nyambung dia bawa mikroskop...
Kita berjalan menanjak bukit. Saat itu sekitar jam 12 kurang. Matahari ada di atas katulistiwa. Yah agak mengsong dikit lah. Panas jadinya. Selama menelusuri jalanan yang kanan-kirinya ditumbuhi poonan khas daerah muara kayak pandan utan, kelapa, palm, dan aneka tumbuhan rambat yg gue gak tau namanya, si Doni mengeluarkan bakat terpendamnya. Dia menyanyikan sebuah lagu sunda bertempo 3 per empat dengan irama waltz. Lagu itu menceritakan perjalanan kita bertujuh. Judulnya budak leutik nu jalanan. Artinya little kids on the road. Gue mpe ngakak dengernya karena si Dony nyanyi kayak Darso. Artis kawakan di blantika musik Sunda.
Peluh sudah mulai membasahi kulit dan entah berapa juta partikel sinar ultra violet yang meradiasi tubuh kita bertujuh. Tapi karena perjalanan dilalui dengan suka cita, kita seneng-seneng aje. Kita menganggap ini adalah petualangan. Karena kalau dibawa BT sia-sia saja rencana kita untuk berlibur. Bukan begitu ojan?
Tuhan melihat kita dengan iba, lalu dikirimkanlah sebuah trek bermuatan pasir. Dan kru dari truk itu bersedia untuk ditumpangi. Dengan semangat si pitung nyelamatin juleha bininya yang diculik demang. Kita bertujuh naik ke atas bak trek yang sudah penuh dengan pasir. Sampe-sampe Nain pengen pup disitu, sebagai guru TK yang baik si Dona mencegahnya. Dia berkata: Nain, stop doing that impolite thing you must behave!
Truk dibawa dengan kecepatan yang cukup untuk membuat orang haus hiburan kayak gue berteriak-teriak histeris. Apelagi saat truk menuruni sebuah turunan yang hampir bersudut 90 derajat. Gue juga parno gimane kalo treknya nyungsep. Untung gak nape-nape. Rasanya kayak naek roller coaster. Rasanya di dalam perut gue ada yang lagi maen trampoline. Geli-geli gimane gitu. Angin yang kencang membuat rambut gue menjadi bergaya gak jelas. Antara kriting sosis sama kriting puddle. Si Endah yang putus cinta tereak-tereak memaki-maki nama mantannya. Majid makanin angin. Yang laen nyemilin pasir pake saos. Trus pas nurunin turunan kita dihadapkan pada pemandangan pantai Sawarna yang begitu indah. Gue ampe bertasbih.....mau nangis terharu gue. Bisa juga sampe kesini, setelah melewati perdebatan di Pulau Manuk tadi.....
Pas masuk ke desa Sawarnanya, maksud gue bener-bener tempat yang banyak penduduknya. Banyak sekali hajatan. Orang-orang yang ada di jalanan melihat kami yang berada di atas truk penuh dengan rasa heran. Kog tukang pasir jualan orang juga. Kerutan di jidat mereka begitu rupa. Ekspresi mereka hanya bisa diwakilkan dengan satu kata seru
begitulah bunyinya. Mereka kaget musim kampanye belum semarak mengapa caleg-caleg sudah berkampanye dari atas trek. Di atas truk kita juga poto-poto. Yaaaa kali aja bisa dimasukin iklan otomotip.





Truk berhenti di suatu tempat. Lalu kita masuk ke sebuah jalan setapak memasuki sebuah kampung. Tujuan kali ini adalah ke goa lalay. Di goa itu banyak kelelawarnya. Makanya namanya lalay. Kalo isinya cewek atao waria yang bergincu tebal dan berblush on menor terus goadain lekong maka namanya akan menjadi goa DjaBluy. Letak goa itu jauh ke dalam kampung. Untuk menuju goa itu kita harus bertanya pada penduduk kampung itu. Maka Endah yg menguasai bahasa sunda, didaulat menjadi interviewer. Begini kira-kira percakapanya
Penduduk setempat: 
Endah: 
PendudukSetempat: 
Endah: ooooo
Jadi begini artinya. Untuk mencapai goa lalay kita harus lewatin sawah, jembatan gantung, jalan setapak, kuburan dan kali lagi terus ketemu deh goa lalay. Eniwei kita ikuti petunjuk tersebut. Pas di jembatan gantung, kami menyebrang perlahan karena beberapa balok kayu yang menjadi titian sudah banyak yang ompong. Pas kita lewat di atasnya jembatanya melanting gitu. Mane di bawahnya kali lagi ndak lucu tho kalo kejebur. Terus tali jembatanya udah pada tepok gitu. Ya dengan bismillah dan diakhiri dengan alhamdulillah kita semua bisa juga melewati jembatan dan sampe juga di goa lalay.
Goa lalay ternyata adalah sebuah goa. Gue pikir itu mall. Goa adalah sebuah celah batu yang dialiri air tanah dan memiliki stalagmit dan stalagtit yang ngegantung. Untuk menyusuri goa kita perlu penerangan karena di goa gak ada lampu neon ataupun lampu disko. Untungnya di goa itu lagi ada rombongan dari sebuah komunitas jalan-jalan yang lagi caving. Jadi mereka bersedia meminjamkan senternya untuk kite. Terus kita juga kudu ngelepas alas kaki karena tanah yang kita injak adalah tanah lempung yang amat licin. Dan aernya setinggi betis. Pas jalan di dalam goa itu kita harus nuncepin ujung jempol kita di tanah biar kagak jatoh. Suara yang ditimbulkan dari kaki dan tanah yang berair menimbulkan suara seperti suara orang ngorok. Gue sempet berhalusinasi itu adalah suara anaconda. Semakin masuk ke dalam maka hanya gelap yang kita temui. Gue gandengan sama Endah. Di belakang gue ada Nain yang menyoroti senter. Beberapa kali diantara kami ada yang kepleset. Pertama si Eca, terus Endah jatuh dan membuat tempat minum Nain yang digenggamnya pecah terantuk batu kapur. Di suatu tempat gue juga jatoh ke dalam sebuah lobang. Untung tuh lobang kagak dalem dan gak ada airnya.
Di suatu spot, ada sebuah batu yang mengalami pengikisan dan memiliki bentuk seperti arca perempuan. Dan deket situ ada codot-codot yang bergelantungan. Ambune rek kayak bau sampah organic. Busuk banget. Jadi disamping harus menjaga keseimbangan supaya kita kagak jatoh kita juga harus bisa nahan napas. Bener-bener perlu ekstra hati-hati. Rombongan yang masuk bareng kite-kite pada foto-foto di atas batu deket dinding goa. Pada girang banget, gue mah kagak berani dah. Cukup ngeliatin codot aja. Aneh ya mamalia tapi punya sayap. Gak bertelor pula. Jadi inget vampire. Rada ngeri juga di antub ama codot trus berubah jadi Dracula. Hiiiiii
Setelah udah mulai merasa pengep kita jalan ke luar goa. Untuk ke luar ke liang goa kita ngelewatin jalan yang untuk masuk tadi. Ternyata goanya gak dalem-dalem amat tapi karena belum pernah caving jadinya terasa jauh dan menyeramkan. Mana gelap. Bacek. Lembab dan bau pula. Tapi pas caving gue berasa lagi nyari harta karun. Kayak tomb rider. Di mulut goa kita putu-putu. Dah gitu masuk sini gak bayar lagi. Itu yang paling penting.
Pas perjalanan pulang anak-anak pada poto-poto di jembatan gantung. Majid, Dony and Nain girang banget liat ninik-ninik boker dengan pose vulgar. Mereka jongkok aja gitu di pinggir kali. Dan gak sadar bahwa nain, dkk dah siap buat merkosa. Hahahahahah.....aiaia....


JODOH EMANG GAK KEMANE.......

Setelah kita sampai di pinggir jalan di deket perkampungan, kite mampir dulu di sebuah warung buat ngaso. And orang yang punya warung ngasih kite emping. Lumayan ngilangin eneg abis nyium tai codot. Lalu setelah makan kita berjalan menuju penginepan dengan berjalan kaki dan berharap ada trek yang mau ngangkut. Sepanjang perjalanan kita diguyur gerimis yang kadang turun kadang kagak. Huuhhh gerimis yang aneh...
Di sepanjang jalan, hamparan sawah nan hijau lumayan menjadi penawar lelah dan penawar racun karena bau tokai codot. Lalu kami melihat banyak spanduk caleg disini. Kenape si harus ada gambar orang-orang gak tenar terpampang di mana-mana? Ganggu banget. Mending kalo pada ganteng. Beberapa meter kemudian kite nemuin hajatan. Kira-kira ada lima pesta hajatan yang digelar diditu. Gue punya ide gimana kita numpang makan siang di salah satu tempat hajatan itu. Tapi temen-temen menolaknya karena tampang kita udah kayak maling ayam kecebur empang. Mengapa bisa seperti itu? Pertama-tama kia semua pake celana pendek, muka udah sanggup buka kilang minyak, badan wangi parfum keteks dan tampang laper berat. Kalo kita nekat nyambangin salah satu hajatan itu maka dapat diastikan kita bisa dirajam. And yang paling penting dari semua itu kita gak kenal sama pengantenya!
Di suatu tempat kite ngaso lagi di warung untuk minum teh botol. Di warung itu ada sebuah mobil kap menganggur. Lalu timbul ide untuk menyarter truk itu sampe penginepan. Lalu gue nanya kalo misalnya kita nyewa truk sampe penginepan berapa? Lalu si bapak menjawab ya kira-kira satu orang sepuluh ribu lah. Semua anak tidak setuju karena sepuluh ribu berharga sama seperti batu bertuah ponari. Lalu gue nego gimana kalo goceng. Si Bapak tampak tidak setuju, sepertinya lima ribu lebih tidak seharga batu ponari. Tiba-tiba....................
“Eh truk yang tadi!” Teriak Dona
“Eh iya tuh truk yang tadi!” Kata Eca menunjuk pada sebuah truk kuning yang berjalan lambat menuju arah Karang Taraje.
“Eh berentiin-berentiin. Cepet” Kata Doni semangat.
Lalu Eca, Endah, Dona, dan Majid berlari mengejar matahari. Ada lagu Ari Lasso mengantar kepergian mereka. Tunggu maksud gue mereka berlari mengejar truk dan gak ada lagu apa-apa yang terdengar. Kosong hanya ada suara jerit mereka yang berbunyi’ Baaaaaaaaaangggg tungguuuuuu.....” Suara mereka diiringi suara merdu angin musim barat yang sahdu. Amboi, cemprengnya! Usaha mereka berhasil lalu si supir truk mengerem truknya dan si kenek meminta anak-anak segera naik. Lalu gue segera membayar teh botol tadi ditemani oleh Nain dan Dony. Juga tak lupa membeli sebungkus rokok jisamsu untuk pak supir truk yang sangat baik itu nanti, sebagai sekedar pengganti ongkos. Duit gue gocapan dan si bapak gak punya kembalian. Walhasil si Nain merogoh dompet recehan Eca dan memberi uang duapuluh ribuan. Lalu setelah itu kita bertiga ngabur.
Si Bapak pemilik warung terlihat kuciwa karena objekanya ilang.
Sorry pak tapi yang gratis emang lebih nikmat...heheheheheheh.....
Emang kite jodoh ma ni truk kali ye
Setelah gue bertiga menyusul naik ke dalam truk. Si truk kuningpun melaju menuju Karang Taraje. Di dalam truk kami tertawa bahagia. Bahagia karena mengingat wajah bapak yang kecewa tadi. Bahagia karena perjalanan hari ini yang menyenangkan. Bahagia karena petualangan hari ini penuh dengan mukzizat. Mukzizat ketemu sama truk yang sama dua kali. Dan yang paling penting banyak pengetahuan yang kita dapet hari ini.
Sepanjang jalan kita semua masih merayakan keceriaan hari ini dan si Endah masih menjalankan ritual penghempas patah hatinya. Gue mengingatkan Majid supaya gak makanin batu bara yang ada di dalem bak truk. Oh ya batu kali ini gue liat yang namanya batu bara dari deket dan bisa megang. Batu-batu itu begitu hitam dan lengket. And they are not smolder like it names. Gak kebayang dari sebuah poon segede-gede apa tau kog bisa ya pohon-pohon itu membatu dan menjadi seperti saat itu? Item dan lengket persis kayak gulali.
Lamunan gue terhenti oleh sebuah tanjakan yang tadi kita turunin saat mau ke Sawarna. Kali ini truk harus menanjakinya. Gue berdoa dalam hati supaya sang juru mudi sanggup menaklukan tanjakan ini dengan beban yang ditanggung. Udah berat dengan batu bara mesti ditambah lagi dengan badan-badan tujuh manusia yang kalo dikalkulasiin bisa sekitar tiga ratusan kilo beratnya. Bismillah terucap lirih dalam hati dan badan truk perlahan berusaha manaklukan tanjakan. Gue tau temen-temen yang lain juga berdoa. Tarikan gas terasa tersendat-sendat saat truk menuju pucak tanjakan. Bahkan mobil kijang yang ada di belakang kita sampe mundur, jaga-jaga kalo truk melorot karena gak kuat nanjak. Lautan yang ada di belakang kita perlahan menjauh dari pandangan dan truk bisa juga sampe ke atas tanjakan. Fuiiiihhhhhh selamet juga. Setelah itu kita ngelewatin kawasan wisata pulau manuk, hutan. Sawah-sawah, rumah penduduk dan akhirnya sampe juga di penginepan.
Seperti biasa gue takut turun dari truk. Entah kenapa gue lumayan takut sama ketinggian. Kayaknya truk ntu bukit yang tinggi dan jalanan ntu kayak jurang yang dalem. Sampe-sampe si Nain mukul gue pake ranting poon. Si Majid sama Doni juga kembali menolong gue dengan cara menyediakan bahunya untuk gue pegang.





Begitu tiba di penginepan kira-kira jam tigaan sore. Gue sama Endah langsung bergegas ngangkat baju yang tadi pagi kita jemur. Beberapa baju sudah kering dan selebihnya belum karena tadi siang sempet hujan dan baju kita keujanan. Jadi gue ama Endah ngejemurun lagi baju di pekarangan penginepan. Lalu kita memikirikan rencana bakar ikan untuk malam nanti. Gue dan Eca patungan untuk beli ikan dan perlengkapnya. Endah lah yang ditugasi untuk membeli ikan bersama sang penjaga penginepan menggunakan motor.
Setengah jam kemudian Endah datang. Endah gak beli ikan. Karena saat ini sedang musim angin barat dimana nelayan tidak melaut karena musim barat adalah saat dimana angin bergerak kencang dan gelombang laut bisa mencapai dua meter so...bisa membahayakan perahu. Endah membeli lima cumi yang besar dalam sebuah kantong plastik bewarna biru. Beratnya sekitar dua kiloan. Cumi itu masih segar. Ngeliat cumi segede gitu gue inget monster-monster laut dengan tetangkel-tetangkel yang bisa meremukan manusia dan kemudian memakannya. Jadi setengah bergidik ngeliatnya. Selain membeli cumi, Endah juga beli cabe, jeruk nipis, tomat kecil, bawang, dan kecap ikan saori buat bakar cumi. Tapi sayang saorinya udah kadaluarasa. Jadi gak bisa dipake buat masak malam nanti.
Karena bakar cuminya masih lama, cumi raksaksa tadi di taruh dulu dalam sebuah ember yang berisikan es batu. Es batu tadi memang dikasih sama penjual cuminya. Lalu kami semua memutuskan untuk bermain di pantai. Eca dan Nain gak mau ikutan nyebur. Biasalah seperti yang kalian tau mereka takut berubah jadi belut listrik.
Majid dan Doni berenang agak ke ambang batas karang. Disitu airnya agak dalam. Sementara itu, gue Endah dan Dona memilih untuk bermain di ceruk yang airnya gak begitu dalem. Eca mengabadikan ulah kite berlima. Gue main cipratan-cipratan aer sama Dona dan Endah. Majid sama Doni duduk di depan karang dan menunggu ombak dateng. Semakin sore ombak yang datang semakin tinggi. Maka gue dan yang lainnya penasaran juga untuk nunggu ombak du tempatnya Majid sama Doni. Kita beranikan diri untuk ke tempat yang agak dalem. Lalu kita semua menunggu ombak yang datang. Dan begitu ombak dateng gue, Dona, Endah terhempas. Gue ngerasain aer asin masuk ke mata dan kuping gue. Airnya super asin. Tenggorokan gue ampe kering. Tangan gue keantuk karang yang tajem karena di situ banyak batu yang ada di dasar pantai. Si Endah ampe kelempar ke pinggiran pantai. Si Dona baik-baik aja karena pegangan sama batu karang. Majid sama Doni juga gak kenape-nape karena juga pegangan karang. Karena trauma akirnya gue, Endah dan Dona pindah ke tempat sebelumnya dan tengkurep menunggu ombak.
Karena pasir masuk kedalam celana dan baju, gue ngerasa kegatelan dan gue memutuskan untuk kembali ke penginepan duluan untuk mandi. Begitu gue masuk ke dalam penginapan, Nain sang juragan mencak-mencak karena lantai penginepan penuh dengan pasir. Die marah-marah dengan ekspresi seorang bapak yang marahin anaknya karena bikin semua rumah kotor dengan pasir. Gue sebodo amat dan dengan manisnya gue mengambil anduk dan ngeloyor ke dalm kamar mandi.
Lalu setelah tuntas mandi dan nyuci baju, gue ke luar pekarangan untuk menjemur baju yang baru gue cuci. Si Nain nyuruh gue ngepelin bekas-bekas pasir yang gue bawa tadi. Gue nurut daripada gue ditularin autis akutnya. Setelah ngepel dan menyapu gue duduk di pekarangan sambil berjemur.
Sekitar jam setengah enaman, Doni sama Nain nyiapin peralatan buat bakar cumi. Mereka nyari sabut kelapa buat ngebakar, batu bata dan alat buat manggang. Yang jaga penginepan minjemin sebuah panggangan capit dan piso. Gue, Dona ma Majid memilih untuk nongkrongin sunset sambil dengerin lagu-lagu melo dari hendponya majid. Kita juga curhat-curhatan nyeritaiin pengalaman cinta masing-masing. Hufffff.....love can turn us like a poet palagi saat itu cuaca begitu jingga, deburan ombak begitu menyayat hati dan lagu Daniel Bedingfield dengan vokalnya yang mellow-mellow marshamalow ngebuat gue mendramatisir suasana. If only he is standing beside me..... Feel what I feel...
Sutralah....gue khan ada di sekeliling orang-orang yang gue sayangi. Temen-temen gue yang konyol.
Eniwei......saat gelap merajai langit. Pa sih bahasa gue? Gue dan yang lainnya nyamperin anak-anak yamg lagi bakar cumi. Endah, Doni ma Nain seperti peserta allez cuisine. Pe lagi si Doni, gaya kipasannya mengingatkan gue pada tukang sate kambing yang udah makan asem garem dunia persatean. Endah tugasnya ngolesin mentega dan Naen ngejaga supaya api tetap nyala dengan cara menyemburkan api dari pantatnya. Emang dia ntu naga yang unik. Hehehehehhe......gek deng si Naen tugasnya gantiin Doni kalo Doni kecapekan. Si Majid ditugasi Endah untuk motong-motong cabe, bawang dan tomat buat sambel kecap. Alih-alih, karena gak kerjaan gue maenin kamera eca. Motoin orang-orang yang lagi bakar cumi. Dona leyeh-leyeh di ranjang. Eca duduk di teras ngeliatin Majid yang lagi motongin cabe dan teman-temanya. Gile deh kerjaanya Majid sangat rapi. Cabe terpotong serong sempurna, tomat di potong dadu menyerupai dadu judi dan bawangnya!....bawangnya dipotong dengan gaya perancis. Sungguh mempesona. Oh...oh...he is like a house wife... Nop, I mean house husband.
Malam itu bintang bercahaya terang. Langka banget ngeliat langit sebersih ini. Bau cumi bakar mulai memenuhi udara. Ah.....sedep bener. Gue gak sanggup buat nyantap cumi itu. Seketika gue samperin anak-anak yang lagi bakar cumi. Terus gue comot salah satu kaki cumi dan rasanya lezat tapi alot. Mungkin kelamaanadibakar dan kelamaan kena udara.
Oh ya hari ini khan tahun baru hijriyah jadi sekalianlah kita selametan. Tadinya mo tahlilan tapi pada belom mandi junub, jadi dibatalin. Gue jadi berandai-andai semua temen-temen gue ada disini. Angkatan 03 Jurusan Sejarah. FIS UNJ. Pasti seru banget........ Miss u all guys!
Setelah cumi sudah dibakar semua cumipun dihidangkan bersama nasi dan sambal. Eca makan sama Majid, Dona makan sama Endah, gue sama Nain dan Doni makan sendiri dengan porsi nasi yang agak sedikit. Karena cuminya alot makannya harus ekstra kerja keras. Gue yang memiliki graham yang sudah tidak sempurna harus makan dengan tenaga super ekstra keras. Untung ada bagian cumi yang agak empuk jadi gue agak terhibur. Sayang kurang pete, kalo ada tambah nikmat dah. Sambil makan kita ngobrolin kejadian tadi siang dan rencana kemana liburan berikutnya. Banyak banget rencana, mau ke Bali lah, mau ke ujung genteng lah, mau ke bromo lah, mau ke bulan lah...... tapi gue sih optimis liburan berikutnya pasti bakal seasik ini.
Setelah makan dan ngeberesin kotoran, kite semua masuk kamar untuk melepas lelah. Gue, Eca, Nain tidur di tempat tidur. Tapi tenang Nain gak diapa-apain kog. Lagi juga sipa sih yang nafsu ma Nain? Belum diapa-apain aje udah bengong terus mimisan. Di kasur bawah berjejerlah Endah, Dona dan Doni. Doni juga gak menerbitkan nafsu Endah dan Dona jadi Doni selamat-selamet aje. Majid lebih memilih tidur beralaskan tikar ditemani henponya di lantai. Begitulah bocah karawang selalu ingin tidur membumi dengan pengertian denotative.
Di tengah tidur yang mulai lelap kita dikejutkan oleh sebuah suara yang membahana. Sumbernya dari seekor reptile yang bersosok sama sekali tidak menggemaskan. Malah mengerikan. Mahluk itu, bernama tokek. Tokek itu berceloteh tokek...tokek...tekek...tekek...... berulang kali. Seketika kita semua terbangun. Palagi Dona yang tepat ada di bawah tokek. Dia berteriak histeris kareana di atasnya ada seekor mahluk yang menyerupai Godzilla. Dona langsung meminta tukar tempat sama Eca. Eca yang bisa menaklukan tokek mau bertukar tempat. Lalu si tokek itu lari entah kemana dan keadaaan kembali tenang. Kita semua akirnya bisa kembali tidur.
GUE yakin semua bermimpi indah. Karena gue juga begitu. Sampe gue gak mau bangun lagi.
































Hari ini, tanggal 29 desember 2008. Adalah hari terakhir kita di Bayah. Pagi hari, kita semua membereskan barang-barang yang akan kita bawa pulang. Dan juga gak lupa untuk mandi. Inang Dona dengan sigap membereskan tempat tidur yang udah carut marut. Setelah semua selesai dengan aktivitasnya kita semua duduk-duduk di teras menunggu hujan berhenti. Hari itu sekitar jam sembilanan hujan turun dengan derasnya di pantai Karang Taraje. Kami semua menunggu dengan sabar di teras kamar. Malah si Nain. Lagi-lagi si Nain.... sempet juga membuang harta karun di WC.
Sambil nunggu ujan kita ngobrolin hal-hal yang gak penting. Dolanan masa kecil adalah têmanya. Intinya kita semua punya masa kecil yang menyenangkan. Sebenernya gue masih mau disini, anak-anak yang lain juga merasakan hal yang sama. Siapa sih yang mau buru-buru ninggalin pantai seindah ini. Liburan seasyik ini. Tapi segala sesuatu itu harus dimulai dan juga diakhiri. Tiada yang abadi.
Tepat pukul sepuluh pagi. Ketika hujan sudah menjadi tetes-tetes kecil alias gerimis kita semua memutuskan untuk ciao. Sebelum meninggalkan penginapan kita check out dulu dan membayar sisa tarif sebesar dua ratus ribu ke kasir penginapan. Lalu dengan langkah berat kita berjalan menuju jalan raya. Sambil jalan berbaris kita semua gak lepas-lepas ngeliatin laut yang ada di sebelah kiri kita. Karena gerimis menderas gue memakai jaket parasut gue.. supaya pala gue gak pusing.
Mukjijat dateng lagi. Truk yang kita tumpangi dua kali kemarin, lewat lagi. Lalu tanpa banyak bicara kita baik ke atas truk. Kali ini gue duduk di samping pak supir sama Eca. Kita berdua ngobrol sama supir pahlawan dan baik hati ini. Ternyata pak supir punya bos yang tinggalnya di Bintaro. Dia bertugas untuk mengangkut atau mengantar pasir dan baru bara dari penambangan ke pengepul. Gue amati wajah pak supir. Dari garis-garis wajahnya tampak sebuah ketulusan. Jarang banget jaman sekarang ada orang kayak gini. Mana ada orang mau ngasih tumpangan gratis? Semoga bapak dan keneknya dikasih rezeki yang banyak........
Emang bener ye keinginan akan menarik segalanya. Karena keinginan punya daya energi yang besar. Buktinya kita bisa nmpang truk yg sama sampe tiga kali! Kayak minum obat aja.
Setelah sampai di ujung jalan. Tepatnya di dekat terminal. Kita semua mencari bis untuk pulang. Kita berhasil mendapatkan bis tiga perempat dengan tariff 20 ribu. Sambil menunggu bis berangkat kita sarapan di sebuah warteg. Gue makan nasi, sayur daun singkong, dan perkedel. Lalu setelah semua selesai makan dan membayar kita semua masuk ke dalam bis dan duduk di dalam. Gue ma Eca duduk di bangku tengah. Majid duduk di bangku yang sebaris sama bangku gue yang letaknya diket pintu. Doni, Nain, Dona, dan Endah duduk di kursi belakang. Lalu berdatanganlah beberapa penumpang dan bispun jalan.
Lelah membuat kami tak berbicara banyak. Sepanjang Bayah sampai Malimping. Gue tak henti-hentinya ngeliatin pantai. Seaakan gue pengen bawa pulang pemandangannya. Mirip bener sama istri yang ninggalin suaminya karena harus berangkat ke Arab untuk jadi TKW. Yang lucu dari perjalanan pulang ehmmm senenernya nih jackpot si. Jadi di daerah Pandeglang ada seorang anak sama bapaknya yang naik. Trus anaknya muntah gitu di deket Eca. Bau muntah pun mewarnai perjalanan pulang. Setelah mereka turun si kenek dengan baik hati menyiramkan pasir diatas muntahan.
Perjalanan pulang terasa begitu lama. Sekitar jam setengah empat sore kita baru sampe di Rangkas. Lalu kita segera membeli karcis. Sambil menunggu kedatangan kereta yang sampai satu jam sesudahnya. Kita makan bakso dulu deket stasiun. Pas di stasiun waktu lagi nunggu kereta, gerimis membasahi bumi rangkas. Seakan-akan sedih karena ditinggalin sama gue dan anak-anak. Lalu setengah lima kereta jurusan Merak-Tanah Abangpun tiba. Di atas kereta sudah penuh dengan penumpang. Walhasil kita semua pada berdiri.
Di kereta ada seorang nenek latah yang berprofesi sebagai penjual sayuran. Latahnya parah- udah stadium advanced. Kursus latah di mana si tu nenek-nenek. Di colek dikit aja kata-kata beraroma biru lantas keluar dari bibirnya tanpa sensor. Gue aje mpek ngakak gak karuan. Bapak-bapak yang berdiri di belakangnya aja seneng banget godain tuh nenek-nenek. Dah gitu keretamya pan suka ngerem mendadak secara kereta disesel yang bisa berenti semaunya. Tambah heboh dah latahnya. Lumayan lah buat hiburan. Ditengah padatnya kereta dan bau ketek dari segala macam kepentingan. Ape coba.........
Pas sampe di stasiun Kebayoran, si Eca turun duluan. Yang lain turun di Tanah Abang. Pas udah sampe, kita bingung mau nerusin ke rumah masing-masng naik apa. Gue ngusulin naik kereta ke Depok aja. Untungnya ada kereta ekonomi AC yang ke Bogor, via Depok. Karena keretanya masih lama, kita nongkrong-nongkrong di pinggiran peron sambil makanain snack yg masih ada.
Jam setengah lapan malem, kereta jurusan Bogor telah sampai, Kamipun masuk ke dalam kereta. Kereta ksosng. Udara Ac yang dingin begitu memanjakan kami. Membuat kami rileks. AAaaahhhhhh.... Serasa kereta pribadi. Lalu kita duduk di tempat masing-masing. Di kereta, Dona dan Endah dilantik menjadi anggota low budget traveler. Mereka harus catwalk ngikutin petugas kereta yang ganteng-ganteng. Beneran lo petugas kereta ekonomi AC tanpan-tampan. Musik pengiringya adalah musik karawitan dari ponselnya Majid. Dasar gak tau malu Dona ma Endah menyelipkam aksi striptis di sela-sela catwalknya. Mentang-mentang sepi.
Jam sembilan malem kereta sampe di Stasiun Depok Baru. Sebelumnya, di Stasiun Pasar Minggu Nain sama Dona turun duluan. Untuk meneruskan perjalanan ke Rambutan.
Gue bingung kog udah sampe aja ya. Perasaan gue, tadi pagi gue masih ngeliat gulungan ombak di Bayah deh. Ombak yang akan selalu bergulung di benak gue. Dan juga kenangan indah bersama Dona, Endah, Eca, Nain, Majid, and Doni menjalani petualangan. Petualangan naek truk. Lari-larian di pantai tak bernama. Kejar-kejaran sama ombak. Megap-megap dalam goa. Bengong di pulau Manuk. Berpeluh karena berjalan kaki. Gue gak akan pernah bisa dan gak mau melupakan kenangan indah ini. Selamanya sampe gue balik lagi ke Bayah bawa anak-anak gue......

WE ARE THE WORLD
WE CAN GO THROUGH
THE OBSTACELS WITHOUT
CRYING...
A JOURNEY IS LIKE LIFE PALZ.......
WE CAN’T SAY NO TO TRIP
LIKE SAY NO TO BREATH
Megols, Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar